Agresi Militer II Belanda, yang dikenal pula sebagai Operatie Kraai, berlangsung mulai 19 Desember 1948 hingga awal Januari 1949 di Jawa dan Sumatera. Operasi ini dilancarkan Belanda sebagai kelanjutan konflik bersenjata pasca-Perjanjian Renville, dengan tujuan menumpas Pemerintah Republik Indonesia serta menguasai Yogyakarta sebagai ibu kota sementara. Berkat unsur kejutan, pasukan Belanda berhasil merebut Yogyakarta dan menahan para pemimpin Republik seperti Sukarno dan Hatta. Meskipun secara militer Belanda unggul, gerilya TNI terus berlangsung hingga Mei 1949, sehingga menguras sumber daya Belanda dan memicu kecaman internasional. Tekanan diplomatik di PBB dan ancaman penghentian bantuan Marshall Plan dari Amerika Serikat semakin memojokkan Belanda. Akhirnya, melalui Perjanjian Roem–van Roijen dan Konferensi Meja Bundar, Belanda menerima kemerdekaan Indonesia pada akhir 1949
Wikipedia
Latar Belakang
Setelah Agresi Militer I tahun 1947, negosiasi antara Republik Indonesia dan Belanda diplot melalui Perjanjian Renville pada Januari 1948. Renville menempatkan garis status quo (Garis Van Mook) yang membatasi wilayah pendudukan kedua pihak. Namun, penerapan Renville menemui kendala karena Belanda membatasi jalur pasokan, membuat kegelisahan di pihak Republik meningkat. Selain itu, pasukan irregular tetap berada di daerah yang seharusnya dikosongkan, memicu ketegangan. Belanda menuduh Republik melanggar perjanjian, sementara Republik menilai Belanda sengaja menghambat perbaikan kondisi rakyat. Keadaan ini memunculkan rencana Belanda untuk melancarkan ofensif besar kedua sebagai upaya menyudahi perjuangan Republik.
Persiapan dan Rencana Belanda
Menjelang Desember 1948, militer Belanda memanfaatkan intelijen hasil pemecahan kode rahasia Republik untuk mengetahui strategi pertahanan Indonesia. Panglima Belanda, Jenderal Simon Hendrik Spoor, merencanakan serangan kilat dengan sandi “Operatie Kraai” (Operasi Gagak). Mereka menyiapkan pasukan khusus, termasuk Korps Speciale Troepen, 800–900 penerjun payung, dan ratusan pesawat tempur serta pembom. Rencana ini juga mencakup konferensi pers yang sudah dijadwalkan tiga hari sebelum serangan agar Belanda dapat menjelaskan tindakannya. Serangan dijadwalkan bersamaan dengan latihan militer TNI pada 19 Desember 1948 untuk menutupi pergerakan pasukan Belanda.
Pelaksanaan Agresi Militer II
Pada pagi buta tanggal 19 Desember 1948, Belanda secara tiba-tiba melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Republik Indonesia dalam operasi militer yang mereka beri nama “Operatie Kraai” atau Operasi Gagak. Target utama mereka adalah Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia setelah Jakarta diduduki pada Agresi Militer I.
Serangan diawali dengan pengeboman dan pendudukan Lapangan Udara Maguwo (sekarang Bandara Adisutjipto), yang menjadi pintu masuk penting ke jantung pemerintahan Republik. Setelah itu, pasukan Belanda bergerak cepat merebut Kota Yogyakarta. Karena serangan berlangsung mendadak dan menggunakan kekuatan besar, pasukan pertahanan Republik yang berjaga tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti.
Dalam waktu singkat, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Lebih parahnya lagi, mereka menangkap dan menawan para pemimpin utama Republik, termasuk Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta beberapa tokoh nasional lain seperti Agus Salim dan Sutan Sjahrir.
Penangkapan ini merupakan strategi Belanda untuk melumpuhkan pemerintahan Republik secara total dan mengklaim bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Namun, para pemimpin Republik dengan sengaja tidak melarikan diri dan justru menyerahkan diri kepada Belanda dengan tujuan agar dunia internasional mengetahui bahwa Indonesia sedang diserang, bukan memberontak.
Di sisi lain, sebelum ditangkap, para pemimpin Republik telah menyiapkan langkah antisipasi dengan menunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), agar roda pemerintahan tetap berjalan meskipun pusatnya jatuh ke tangan musuh. Serangan dan pendudukan ini memang memberikan kemenangan militer sementara bagi Belanda, namun tidak berhasil mematikan semangat perjuangan rakyat Indonesia yang kemudian beralih ke perlawanan gerilya di seluruh pelosok tanah air.
Perlawanan Gerilya
Meskipun Belanda berhasil menguasai Yogyakarta dan menangkap para pemimpin Republik, perjuangan rakyat Indonesia sama sekali tidak berhenti. Justru setelah kota direbut, perlawanan rakyat berubah bentuk menjadi perang gerilya yang tersebar di berbagai pelosok daerah, terutama di pedalaman Jawa dan Sumatra. Strategi gerilya ini dipimpin langsung oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang meskipun dalam kondisi sakit tetap memimpin perlawanan sambil berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di hutan dan pegunungan.
Bersama pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dukungan rakyat, mereka menyerang pos-pos Belanda secara tiba-tiba, melakukan sabotase terhadap jalur logistik, serta menyebarkan pesan bahwa Republik Indonesia masih ada dan tetap melawan.
Perang gerilya ini membuat Belanda kewalahan, karena mereka tidak bisa sepenuhnya menguasai wilayah yang luas dan menghadapi perlawanan yang datang secara sporadis dari berbagai arah.
Di tengah dominasi militer Belanda yang hanya kuat di kota-kota besar, wilayah pedalaman tetap dikuasai oleh rakyat dan tentara Republik. Semangat perlawanan yang tak kunjung padam ini menjadi bukti bahwa meskipun secara militer Belanda lebih unggul di awal, mereka tidak mampu menghentikan semangat kemerdekaan yang telah tumbuh di hati rakyat Indonesia. Bahkan, perlawanan gerilya ini menjadi simbol bahwa Indonesia tidak pernah menyerah dan terus memperjuangkan kemerdekaannya dengan cara apa pun yang bisa dilakukan.
Reaksi Internasional
Serangan mendadak Belanda pada Agresi Militer II, terutama penahanan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, langsung memicu kemarahan komunitas internasional. Dunia melihat tindakan Belanda ini sebagai bentuk penjajahan ulang terhadap Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya sejak 1945.
Dalam waktu singkat, berita tentang agresi tersebut sampai ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 63 pada tanggal 24 Desember 1948. Resolusi ini secara tegas menuntut agar Belanda segera menghentikan agresinya dan membebaskan para pemimpin Republik yang ditangkap.
Negara-negara Asia yang baru merdeka, seperti India dan Burma (sekarang Myanmar), juga menyuarakan dukungan kuat terhadap Indonesia karena merasa memiliki nasib sejarah yang serupa dalam melawan kolonialisme.
Bahkan, negara-negara Barat yang sebelumnya lebih condong berpihak kepada Belanda mulai menunjukkan perubahan sikap, terutama Amerika Serikat. AS merasa tidak nyaman karena bantuan ekonomi yang mereka berikan kepada Belanda melalui Marshall Plan justru digunakan untuk membiayai perang kolonial. Hal ini memunculkan tekanan besar dari Washington, yang mengancam akan menghentikan bantuan kepada Belanda jika agresi tidak segera dihentikan.
Tekanan dari PBB dan Amerika Serikat membuat posisi Belanda semakin lemah di mata dunia. Mereka mulai kehilangan dukungan moral dan politik, bahkan dari negara-negara sekutu sendiri. Situasi ini memaksa Belanda untuk membuka kembali jalur diplomasi dan bersedia duduk bersama Republik Indonesia dalam perundingan damai.
Reaksi keras dari dunia internasional inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor utama yang menghentikan Agresi Militer II dan membuka jalan menuju pengakuan kemerdekaan Indonesia secara penuh di mata dunia.
Perundingan dan Akhir Konflik
Perjanjian Roem–van Roijen diteken pada 7 Mei 1949, memuat kesepakatan pembebasan tahanan politik dan pembicaraan lanjutan tanpa syarat antara Republik dan Belanda. Perundingan ini membuka jalan bagi Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada Agustus–November 1949, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Dengan demikian, Agresi Militer II Belanda secara resmi diakhiri melalui proses diplomasi yang panjang.
Pelajaran dari Agresi Militer Belanda II untuk Indonesia Saat Ini
Peristiwa Agresi Militer Belanda II memberikan banyak pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan kondisi negara saat ini. Pertama, pentingnya persatuan dan solidaritas nasional. Saat pemimpin ditangkap dan ibu kota jatuh ke tangan Belanda, rakyat dan tentara tetap kompak melawan lewat perang gerilya. Ini menunjukkan bahwa ketika rakyat bersatu, kekuatan luar sebesar apa pun bisa dihadapi. Di era sekarang, semangat persatuan ini tetap relevan, terutama dalam menghadapi masalah seperti korupsi, konflik sosial, dan polarisasi politik.
Kedua, pentingnya diplomasi dan peran internasional. Dukungan dunia internasional sangat membantu menghentikan agresi Belanda. Saat ini, Indonesia juga perlu terus aktif dalam diplomasi global, baik untuk ekonomi, keamanan, maupun isu lingkungan.
Ketiga, keteguhan dalam mempertahankan kedaulatan dan nilai-nilai bangsa. Para pemimpin bangsa saat itu tidak lari, tetapi justru memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara yang sah. Ini menjadi pengingat bahwa pemimpin bangsa masa kini harus berani mengambil sikap tegas demi rakyat dan negara.
Referensi
Foto Dokumentasi














