Dalam beberapa tahun terakhir, dunia hiburan dan spiritual di Indonesia sempat diguncang oleh sebuah kontroversi yang melibatkan seorang pesulap bernama Marcel Radhival, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesulap Merah, dan seorang tokoh spiritual pemilik padepokan bernama Gus Samsudin. Kontroversi ini bukan hanya ramai di media sosial, tetapi juga mengundang perhatian publik dari berbagai kalangan, termasuk tokoh agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Awal Mula Kontroversi: Pesulap Merah Bongkar Praktik Perdukunan
Akar permasalahan dimulai ketika Pesulap Merah secara terbuka membongkar praktik-praktik perdukunan yang menurutnya tidak masuk akal dan berpotensi merugikan masyarakat. Dalam beberapa video yang ia unggah di kanal YouTube dan berbagai media sosial lainnya, Pesulap Merah mempraktikkan bagaimana trik-trik yang biasa digunakan oleh para dukun bisa dijelaskan secara logika dan ilmu sulap biasa.
Salah satu sasaran aksinya adalah Padepokan Nur Dzat Sejati milik Gus Samsudin, seorang tokoh spiritual yang mengaku memiliki kemampuan penyembuhan non-medis dan kerap melakukan ritual-ritual tertentu dalam aktivitasnya. Dalam salah satu videonya yang viral, Pesulap Merah mengunjungi lokasi padepokan tersebut dan mencoba membuktikan bahwa apa yang dilakukan di sana hanyalah trik sulap yang dibalut dengan narasi mistis.
Tindakan ini tentu saja memancing reaksi. Banyak masyarakat mendukung keberanian Pesulap Merah yang dianggap membuka mata publik agar tidak mudah tertipu oleh praktik dukun yang menjanjikan kesembuhan, kekayaan instan, atau solusi instan atas berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak sedikit pula yang mengecam tindakannya karena dianggap merusak nama baik orang lain, menyinggung keyakinan masyarakat, dan bahkan menebar kebencian terhadap kalangan tertentu.
MUI Angkat Bicara: Pandangan Buya Munawwir Alqosimi
Melihat kegaduhan yang terjadi di tengah masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut memberikan tanggapan. Salah satu anggota MUI, Buya Munawwir Alqosimi, memberikan pandangannya terkait aksi Pesulap Merah tersebut.
Dalam sebuah wawancara yang dikutip dari channel YouTube Cumi Cumi pada Minggu, 21 Agustus 2022, Buya Munawwir menjelaskan bahwa dalam sejarah Islam, sulap pernah digunakan pada zaman Nabi Musa, tetapi konteksnya berbeda. “Tukang sihir pas zaman Nabi Musa itu menggunakan ilmu sulap, bukan pakai jin. Karena itu, ulama tidak memperbolehkan sulap,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Buya Munawwir menambahkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait penggunaan sulap. Salah satu fatwa datang dari negara Yordania, yang menyatakan bahwa sulap diperbolehkan hanya jika digunakan sebagai bentuk hiburan semata. Artinya, pertunjukan sulap yang dilakukan di atas panggung dan bertujuan untuk menghibur penonton tanpa menipu atau merugikan orang lain masih bisa diterima.
Namun, dalam konteks tindakan Pesulap Merah, Buya Munawwir menilai bahwa aksi tersebut sudah keluar dari tujuan hiburan murni dan bahkan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat. “Aksi itu menurut saya sudah melenceng dari marwah seorang pesulap. Bahkan, hal itu berpotensi memecah belah masyarakat, khususnya umat muslim,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa kenyataannya masyarakat menjadi terbelah akibat kontroversi ini. “Ada yang mencaci Marcel, lainnya menghina Gus Udin. Ini tidak baik untuk ukhuwah kita sebagai sesama muslim.”
Pelaporan ke Polda Jawa Timur: Dugaan Pencemaran Nama Baik
Tak berhenti pada perdebatan di media sosial, masalah ini kemudian masuk ke ranah hukum. Gus Samsudin, pemilik Padepokan Nur Dzat Sejati, merasa dirugikan secara personal dan institusional oleh konten yang dibuat oleh Pesulap Merah. Ia kemudian melaporkan Marcel Radhival ke Polda Jawa Timur dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Dalam laporannya, Gus Samsudin menyatakan bahwa tindakan Pesulap Merah telah membuat reputasinya jatuh dan membuat banyak orang memandang negatif terhadap kegiatan yang dilakukan di padepokannya. Ia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Marcel bukan semata-mata edukasi publik, melainkan sudah menyerang harga diri dan eksistensinya sebagai tokoh spiritual.
Sebaliknya, dari pihak Pesulap Merah, ia menyatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah bentuk edukasi publik. Ia mengaku prihatin dengan maraknya praktik-praktik perdukunan yang dianggap merugikan masyarakat, baik secara mental, emosional, maupun finansial. Ia ingin masyarakat lebih rasional dan tidak mudah tertipu oleh janji-janji manis para dukun yang belum tentu memiliki kemampuan yang benar.
Respons dan Reaksi Publik: Pro dan Kontra
Publik pun terbagi menjadi dua kubu. Di satu sisi, ada yang mendukung Pesulap Merah sebagai sosok pemberani yang membongkar penipuan berkedok spiritualitas. Banyak warganet menganggap bahwa tindakan tersebut patut diapresiasi karena membantu mencerdaskan masyarakat agar tidak mudah tertipu oleh praktik dukun palsu yang menjanjikan kesembuhan dari penyakit, mempertemukan jodoh, hingga mendatangkan rezeki secara instan.
Namun, di sisi lain, ada pula yang menilai tindakan tersebut terlalu frontal dan tidak menghormati kepercayaan orang lain. Mereka menganggap Pesulap Merah telah melangkahi batas etika dengan menghakimi seseorang dan menyebarkan konten yang menjatuhkan pihak lain demi popularitas atau monetisasi di media sosial.
Sebagian kalangan juga menyoroti bahwa meskipun niatnya mungkin baik, namun cara menyampaikannya perlu dipertimbangkan. Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan tradisional, pendekatan yang terlalu keras bisa berujung pada konflik horizontal.
Dampak Sosial dan Kultural dari Perdebatan ini
Kontroversi antara Pesulap Merah dan Gus Samsudin tidak hanya menjadi tontonan viral, tetapi juga memperlihatkan gesekan antara dua budaya yang hidup berdampingan di Indonesia: budaya rasional-modern dan budaya spiritual-tradisional. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang mulai berpikir rasional dan ingin keluar dari bayang-bayang kepercayaan buta terhadap dukun atau praktik mistik. Di sisi lain, ada pula masyarakat yang masih mempercayai kekuatan spiritual sebagai bagian dari warisan budaya dan tradisi leluhur.
Ketika kedua budaya ini saling bertabrakan, bukan tidak mungkin terjadi konflik. Di sinilah pentingnya kehadiran lembaga-lembaga seperti MUI, akademisi, dan tokoh masyarakat untuk menjadi penengah. Kritik terhadap praktik dukun palsu memang perlu, namun cara penyampaiannya harus tetap mengedepankan nilai-nilai etika, empati, dan dialog.
Apa Kata Hukum?
Dari sisi hukum, kasus seperti ini berada di wilayah yang cukup sensitif. Di satu sisi, setiap warga negara berhak untuk menyuarakan pendapatnya, termasuk mengkritik praktik yang dianggap menyesatkan. Namun di sisi lain, UU ITE dan KUHP di Indonesia juga mengatur tentang larangan menyebarkan informasi yang berpotensi menimbulkan kebencian atau mencemarkan nama baik orang lain.
Proses hukum antara Pesulap Merah dan Gus Samsudin menjadi contoh konkret bagaimana konflik di media sosial bisa berujung pada ranah pengadilan. Hal ini mengajarkan kepada masyarakat bahwa kebebasan berpendapat tetap harus disertai tanggung jawab moral dan hukum.
Pelajaran Yang Bisa Kita Ambil dari Kontroversi Ini
Kasus Pesulap Merah vs Gus Samsudin adalah cerminan dari dinamika masyarakat Indonesia yang sedang berada dalam transisi antara kepercayaan tradisional dan pemikiran modern. Kontroversi ini membuka mata banyak orang bahwa praktik spiritual harus dikaji ulang secara kritis, namun juga tidak bisa serta-merta dihakimi tanpa pendekatan yang bijak.
Masyarakat perlu diedukasi agar tidak mudah percaya kepada pihak-pihak yang menjual harapan palsu, namun edukasi itu harus dilakukan dengan cara yang cerdas dan tidak menyinggung keyakinan yang sudah mengakar. Sebaliknya, para pelaku praktik spiritual juga perlu terbuka terhadap kritik dan introspeksi jika memang ada hal-hal yang melenceng dari etika atau hukum.
Peran tokoh agama, seperti MUI, menjadi sangat penting sebagai penyeimbang yang bisa memberikan panduan yang tidak hanya berdasarkan dalil agama, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan.
Akhir kata, semoga kontroversi ini menjadi pelajaran bagi kita semua: bahwa niat baik harus disertai cara yang baik, dan dalam menyampaikan kebenaran, harus tetap ada adab, etika, dan empati terhadap sesama.
Redaksi Asli Berita Sebelumnya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mengomentari aksi Pesulap Merah membongkar praktik dukun palsu. Aksi tersebut sempat menuai kontroversi dan menimbulkan pro dan kontra di antara masyarakat.
Buya Munawwir Alqosimi, anggota MUI memiliki pandangan terkait kontroversi tersebut. “Tukang sihir pas zaman Nabi Musa itu menggunakan ilmu sulap, bukan pakai jin. Karena itu ulama tidak memperbolehkan sulap,” katanya dikutip dari channel YouTube Cumi Cumi, Minggu (21/8/2022).
Dalam lanjutan keterangannya, dia menambahkan, “Ada yang sudah mengeluarkan fatwa yaitu Yordania. Bahwa sulap itu boleh digunakan hanya untuk permainan. Jadi sekadar hanya untuk hiburan.”
Buya Munawwir menilai, aksi sang Pesulap Merah sudah melenceng dari marwah seorang pesulap. Bahkan hal itu berpotensi memecah belah masyarakat, khususnya umat muslim. “Kenyataannya, umat memang terbelah kan. Ada yang mencaci Marcel, lainnya menghina Gus Udin,” tuturnya.
Seperti diketahui, Gus Samsudin selaku pemilik Padepokan Nur Dzat Sejati melaporkan Pesulap Merah ke Polda Jawa Timur atas dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Laporan itu dipicu oleh aksi Pesulap Merah membongkar trik perdukunan di padepokan Gus Samsudin hingga viral di media sosial. Sang pesulap menilai, apa yang dilakukan Samsudin merugikan pelanggannya
sumber : inews