Sutan Takdir Alisjahbana: Pelopor Sastra dan Pemikiran Modern Indonesia

Latar Belakang dan Keluarga

Sutan Takdir Alisjahbana, sering disingkat STA, lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga Minangkabau yang merantau ke Sumatera Utara. Ayahnya, Raden Alisjahbana, adalah seorang guru, sementara ibunya, Puti Samiah, merupakan keturunan bangsawan dari Kesultanan Indrapura. STA juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, melalui garis keturunan ibunya.

Pendidikan dan Awal Karier

STA memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Bengkulu pada tahun 1921. Ia kemudian melanjutkan ke Kweekschool di Bukittinggi dan HKS di Bandung pada tahun 1928. Pada tahun 1942, ia meraih gelar Mr. dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.

Kontribusi dalam Sastra dan Bahasa

STA dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan sastra modern Indonesia. Pada tahun 1933, bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane, ia mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe, yang menjadi wadah bagi para penulis muda untuk mengekspresikan ide-ide modern dan nasionalisme.

Karya-karya STA, seperti novel Tak Putus Dirundung Malang (1929), Layar Terkembang (1936), dan Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), mencerminkan semangat modernisasi dan pemikiran progresif. Ia mendorong adopsi nilai-nilai Barat untuk memajukan Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.

Peran dalam Pengembangan Bahasa Indonesia

Selama pendudukan Jepang, STA menjabat sebagai sekretaris Komisi Bahasa Indonesia pada tahun 1943. Ia berperan aktif dalam pengembangan dan standarisasi bahasa Indonesia, menjadikannya alat pemersatu bangsa yang baru merdeka.

Kegiatan Akademik dan Politik

Setelah kemerdekaan, STA menjadi profesor bahasa Indonesia di Universitas Nasional Jakarta dari tahun 1946 hingga 1948. Ia juga menjabat sebagai rektor universitas tersebut. Selain itu, STA terlibat dalam berbagai organisasi kebudayaan dan ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri, termasuk sebagai Ketua International Association for Art and the Future dan anggota Akademi Jakarta.

Kehidupan Pribadi

STA menikah tiga kali: dengan Raden Ajeng Rohani Daha, Raden Roro Sugiarti, dan Dr. Margaret Axer. Dari ketiga pernikahan tersebut, ia dikaruniai sembilan anak, termasuk Tamalia, Marita, Marga, dan Mario Alisjahbana.

Penghargaan dan Warisan

Atas kontribusinya dalam bidang kebudayaan dan sastra, STA dianugerahi Satyalencana Kebudayaan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1970. Ia juga menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia pada tahun 1979 dan dari Universitas Sains Malaysia di Penang.

STA meninggal dunia pada 17 Juli 1994 di Jakarta pada usia 86 tahun. Warisannya sebagai pelopor sastra modern dan pemikir kebudayaan terus dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi penerus.

Galeri Foto

Berikut adalah galeri foto STA yang berasal dari berbagai sumber

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *