Mengapa Negara Gagal: Ringkasan Buku Why Nations Fail

Dunia yang Tidak Sama Rata

Pernahkah kamu berpikir, mengapa negara seperti Norwegia sangat maju dan rakyatnya hidup sejahtera, sementara negara lain seperti Zimbabwe atau Haiti masih bergelut dengan kemiskinan, ketidakadilan, dan kekacauan politik? Apa yang membuat negara menjadi makmur dan negara lain tetap terbelakang? Pertanyaan inilah yang ingin dijawab oleh buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson.

Jawaban mereka sangat jelas dan tegas: keberhasilan atau kegagalan sebuah negara tidak ditentukan oleh letak geografis, budaya, agama, atau kekayaan alamnya, melainkan oleh sistem politik dan ekonomi yang berlaku di negara itu. Buku ini menekankan pentingnya “institusi” atau aturan dan kebiasaan yang mengatur kehidupan masyarakat. Institusi inilah yang membentuk apakah sebuah negara akan memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk maju, atau justru menindas mereka demi keuntungan segelintir elite.

Dua Kota, Dua Dunia: Nogales di Amerika dan Meksiko

Buku ini dibuka dengan perbandingan antara dua kota yang memiliki nama sama: Nogales. Satu berada di negara bagian Arizona, Amerika Serikat. Satu lagi berada di negara bagian Sonora, Meksiko. Kota ini secara geografis nyaris sama, dipisahkan hanya oleh pagar perbatasan. Penduduknya memiliki latar belakang budaya dan etnis yang mirip. Namun kehidupan di kedua kota ini sangat berbeda.

Di Nogales, Arizona, masyarakat hidup relatif nyaman. Jalan-jalan terawat, pendidikan berjalan baik, pelayanan kesehatan tersedia, dan warga bisa menikmati hak politik seperti memilih pemimpin mereka. Sementara itu, di Nogales, Sonora, kemiskinan meluas, korupsi menjadi hal biasa, kejahatan tinggi, dan pelayanan publik buruk.

Apa penyebabnya? Jawaban dari Acemoglu dan Robinson adalah: sistem. Di Amerika, sistem politik dan ekonomi inklusif memberi peluang kepada warga untuk ikut serta dalam pembangunan. Di Meksiko, sistem ekstraktif yang dikuasai elite justru membatasi partisipasi rakyat.

Apa yang Sebenarnya Menentukan Kemajuan?

Banyak teori berusaha menjelaskan perbedaan antara negara kaya dan miskin. Buku ini membahas dan membantah beberapa teori populer:

1. Teori Geografis

Teori ini menyatakan bahwa negara di daerah tropis lebih miskin karena iklim panas dan penyakit tropis menghambat produktivitas. Namun, jika teori ini benar, mengapa Singapura yang juga berada di wilayah tropis bisa sangat maju? Bagaimana dengan Korea Utara dan Korea Selatan yang secara geografis nyaris sama, tapi memiliki nasib sangat berbeda?

2. Teori Budaya

Ada yang berpendapat bahwa budaya tertentu lebih mendukung kemajuan, seperti budaya kerja keras, hemat, dan berpendidikan. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa budaya bisa berubah seiring waktu, tergantung dari sistem yang dibangun.

3. Teori Ketidaktahuan

Sebagian orang menyalahkan pemimpin negara miskin karena dianggap tidak tahu cara membangun negara. Tapi Acemoglu dan Robinson menjelaskan bahwa banyak pemimpin justru sengaja menciptakan sistem yang menguntungkan mereka dan merugikan rakyat. Jadi bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak mau berbagi kekuasaan dan kekayaan.

Dua Jalan Berbeda: Inklusif vs Ekstraktif

Buku ini menjelaskan dua jenis sistem yang sangat menentukan arah masa depan sebuah negara:

Sistem Inklusif

Sistem ini membuka peluang bagi semua orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan politik. Dalam sistem ini, hukum ditegakkan, hak milik dilindungi, dan rakyat bebas berinovasi. Pemerintah tidak membatasi kreativitas atau menekan rakyat dengan aturan yang menyulitkan.

Negara dengan sistem inklusif biasanya demokratis, stabil, dan makmur. Contohnya Inggris setelah revolusi 1688, Amerika Serikat, dan Korea Selatan setelah reformasi politik.

Sistem Ekstraktif

Sistem ini hanya menguntungkan sekelompok elite yang menguasai kekuasaan. Mereka mengambil sumber daya untuk kepentingan sendiri, membatasi hak rakyat, dan menciptakan aturan yang membuat rakyat tidak bisa berkembang.

Negara dengan sistem ini biasanya korup, otoriter, dan penuh konflik. Contohnya Zimbabwe di bawah Robert Mugabe, atau Korea Utara di bawah dinasti Kim.

Mengapa Negara Sulit Berubah?

Perubahan ke arah sistem inklusif tidak mudah. Bahkan ketika sistem ekstraktif jelas-jelas merugikan rakyat, elite penguasa biasanya akan mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara. Mereka takut kehilangan pengaruh, kekayaan, dan posisi mereka.

Acemoglu dan Robinson menyebut ini sebagai “jebakan kekuasaan”. Ketika satu kelompok terlalu kuat, mereka akan menutup pintu perubahan, bahkan jika perubahan itu bisa membuat negara jadi lebih baik.

Ketika Revolusi Tidak Membawa Perubahan

Banyak revolusi terjadi di dunia, tapi tidak semuanya berhasil membawa negara ke arah yang lebih baik. Kenapa? Karena meski pemimpinnya berganti, sistemnya tetap sama.

Contoh Revolusi yang Gagal:

  • Uni Soviet: menggulingkan Tsar, tapi digantikan oleh Partai Komunis yang juga otoriter.
  • Mesir: mengganti presiden beberapa kali, tapi struktur kekuasaan tetap tidak berubah.

Contoh Revolusi yang Berhasil:

  • Inggris tahun 1688: membatasi kekuasaan raja dan memperkuat parlemen.
  • Amerika Serikat: setelah lepas dari Inggris, mereka membentuk sistem yang demokratis dan terbuka.

Warisan Kolonial yang Merusak

Banyak negara bekas jajahan tetap miskin karena mewarisi sistem ekstraktif dari penjajah. Saat penjajah datang, mereka menciptakan sistem yang menguntungkan mereka dan menindas penduduk lokal. Setelah merdeka, elite lokal sering melanjutkan pola lama karena mereka juga ingin menikmati kekuasaan.

Contohnya:

  • Kongo: dahulu dijajah oleh Belgia, rakyat dipaksa bekerja keras tanpa upah. Setelah merdeka, pemimpin lokal malah meniru penjajah.
  • Meksiko: warisan sistem tanah dan pajak dari masa kolonial masih membebani rakyat kecil.

Kemajuan Tanpa Demokrasi, Apakah Mungkin?

China dan Singapura sering dijadikan contoh bahwa negara bisa maju tanpa demokrasi. Buku ini mengakui bahwa sistem otoriter bisa mendorong kemajuan ekonomi dalam jangka pendek. Namun, mereka percaya bahwa tanpa perubahan ke arah inklusif, kemajuan itu tidak akan bertahan lama.

Sistem yang hanya bergantung pada elite sangat rentan terhadap korupsi, kesalahan kebijakan, dan pemberontakan rakyat. Kemajuan yang stabil butuh sistem yang melibatkan masyarakat luas.

Ketika Kemajuan Berbalik Mundur

Negara yang pernah makmur bisa merosot jika sistemnya berubah ke arah ekstraktif. Ketika elite mulai membatasi hak rakyat dan menutup akses terhadap peluang, kemajuan bisa mandek.

Contohnya:

  • Kekaisaran Roma: pernah berjaya, tapi akhirnya runtuh karena ketimpangan dan korupsi.
  • Venesia: pernah menjadi kota dagang yang hebat, tapi elite menutup diri dan menghentikan inovasi.

Jalan Menuju Perubahan

Meski perubahan sulit, Acemoglu dan Robinson tetap optimis. Mereka percaya bahwa rakyat bisa memaksa perubahan jika mereka bersatu dan berjuang untuk hak mereka.

Kunci keberhasilan ada pada:

  • Pendidikan dan kesadaran politik rakyat
  • Keseimbangan kekuasaan agar tidak ada satu pihak yang terlalu dominan
  • Aturan yang adil dan terbuka bagi semua

Negara bisa berubah jika rakyatnya berani menuntut sistem yang lebih adil. Demokrasi dan kebebasan bukan hadiah, tapi hasil perjuangan.

Kesimpulan Akhir: Negara Gagal karena Pilihan yang Salah

Buku Why Nations Fail menunjukkan bahwa nasib suatu negara bukan ditentukan oleh nasib, alam, atau budaya. Tapi oleh pilihan yang diambil oleh para pemimpinnya dan sistem yang mereka bangun.

Negara yang membiarkan rakyatnya ikut terlibat, menghargai hak setiap orang, dan memberi kesempatan untuk berkembang—akan tumbuh menjadi kuat dan makmur.

Sebaliknya, negara yang menindas rakyat, mengambil kekayaan untuk segelintir orang, dan menutup pintu perubahan—akan tetap miskin dan penuh konflik.

Akhirnya, nasib sebuah negara adalah hasil dari keputusan politik, bukan takdir.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *