Setelah kisah tentang Si Bongkok membuat seluruh istana tertawa, Khalifah Harun Al-Rasyid masih duduk di singgasananya dengan rasa ingin tahu yang besar. Ia memandang para tokoh yang terlibat dalam kematian lucu itu — penjahit, dokter Yahudi, tukang roti, dan pelayan Kristen — sambil berkata:
“Wahai kalian semua, sungguh kisah kalian telah membuat hatiku terhibur. Namun aku mendengar bahwa engkau, wahai pelayan Kristen, yang pertama kali ditemukan bersama jasad Si Bongkok. Maka ceritakanlah kisahmu — bukan tentang malam itu saja, tetapi tentang hidupmu. Barangkali kisahmu lebih aneh dari apa yang baru saja kami dengar.”
Pelayan Kristen itu, yang sejatinya adalah seorang makelar dagang bernama Sa’id al-Nasrani, menundukkan kepala hormat. Ia bukan pelayan biasa; ia adalah pedagang perantara yang sering menjualkan barang-barang mewah untuk para bangsawan, baik Muslim maupun non-Muslim, di kota Baghdad.
Dengan suara tenang dan sopan, ia mulai berkisah kepada khalifah dan seluruh hadirin.
Awal Hidup Sang Makelar
“Ampun, Tuanku,” katanya, “hidupku sebelum kejadian ini penuh dengan keberuntungan dan juga kesialan. Aku hidup di Baghdad sebagai makelar, menjual kain sutra, perhiasan, parfum, dan barang antik untuk para saudagar kaya. Karena kejujuranku, aku dikenal di pasar-pasar besar dan sering dipercaya untuk membawa barang mahal ke rumah para pembeli tanpa pengawalan.”
“Namun, Tuanku,” lanjutnya, “kadang hidup seseorang berputar seperti roda. Pada suatu hari, karena satu kepercayaan yang salah tempat, aku kehilangan segalanya — dan nyaris kehilangan nyawaku pula.”
Khalifah mencondongkan tubuhnya, penasaran. “Ceritakanlah dari awal,” titahnya.
Pertemuan dengan Pemuda Asing
Suatu hari, saat sedang berjalan di pasar besar Baghdad, Sa’id didatangi oleh seorang pemuda tampan berpakaian mahal. Dari aksennya, ia tampak bukan orang lokal. Wajahnya halus, tutur katanya sopan, dan ada pancaran kecerdasan dari matanya.
“Wahai Makelar,” kata pemuda itu, “aku ingin membeli beberapa barang mewah. Aku punya rumah di distrik al-Karkh. Datanglah besok pagi dengan membawa permadani, kain sutra, dan perhiasan terbaikmu.”
Sa’id, yang terbiasa melayani bangsawan, mengangguk. Keesokan harinya ia datang ke rumah pemuda itu dengan membawa sejumlah barang bernilai tinggi.
Rumah itu besar dan indah. Halamannya bersih, pintunya terbuat dari kayu jati, dan di dalamnya terdengar suara lembut seorang perempuan sedang bernyanyi. Sa’id segera tahu bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan.
Pemuda itu memeriksa barang-barang satu per satu dengan penuh minat. Ia memilih beberapa kain sutra, dua permadani Persia, dan kalung emas bertatahkan batu permata. Harganya cukup besar.
Namun ketika Sa’id meminta pembayaran, pemuda itu berkata lembut:
“Aku mohon maaf, wahai Makelar. Aku lupa membawa kunci peti uangku. Jika engkau berkenan, tinggalkan dulu barang-barang ini. Datanglah lagi besok sore, aku akan membayar penuh, bahkan kutambah dengan hadiah untuk jasa baikmu.”
Melihat kesopanan dan kepercayaan diri pemuda itu, Sa’id mengira ia bangsawan muda atau anak saudagar besar. Ia pun menyetujui.
Tapi keesokan harinya, ketika datang untuk menagih, pelayan rumah berkata, “Tuan muda sedang tidak di rumah. Kembalilah besok.”
Begitu berulang hingga tiga hari, sampai akhirnya rasa curiga muncul di hati Sa’id. Pada hari keempat, ia datang lebih pagi dan menunggu di dekat rumah itu.
Kejutan di Balik Pintu
Saat siang tiba, ia melihat pemuda itu keluar rumah dengan pakaian sederhana, membawa seikat kayu di pundak, seperti seorang buruh. Sa’id hampir tak mengenalinya.
Ia mengikuti dari jauh. Pemuda itu berjalan ke tepi sungai Tigris dan berhenti di depan rumah kecil. Di sana, ia menaruh kayu bakar dan berbicara dengan seorang wanita tua. Lalu ia kembali ke rumah besar di al-Karkh.
Sa’id merasa penasaran. Ia mendatangi wanita tua itu setelah pemuda pergi dan bertanya, “Siapakah pemuda yang tadi mengantarkan kayu itu?”
Wanita tua itu menjawab dengan suara lirih, “Ia adalah anak dari saudagar besar Damaskus, tapi kini jatuh miskin karena ditipu orang. Ia tinggal di rumah besar itu bukan karena memilikinya, melainkan karena pemilik rumah adalah wanita yang jatuh cinta padanya. Ia hidup dari belas kasih perempuan itu.”
Sa’id tertegun. Ia sadar telah mempercayakan barang mahal kepada orang yang kini miskin. Tapi hatinya luluh saat mendengar kisah pemuda itu. Ia memutuskan untuk tidak melapor ke pengadilan, melainkan datang sendiri ke rumah besar itu malam harinya.
Rahasia di Balik Rumah Besar
Ketika malam turun dan kota mulai sepi, Sa’id mengetuk pintu rumah besar itu. Pelayan membuka dan berkata bahwa tuan muda sedang bersama seorang wanita.
Namun dari dalam terdengar suara pemuda itu, “Biarkan ia masuk. Aku ingin bicara.”
Sa’id pun masuk dan melihat pemandangan yang memukau. Di tengah ruangan duduk seorang wanita cantik berpakaian sutra hijau, dengan kalung permata di lehernya. Di depannya, pemuda yang sama duduk sambil memegang kecapi, menyanyikan lagu lembut yang memuji kecantikan sang wanita.
Ketika melihat Sa’id, pemuda itu tersenyum tenang. “Maafkan aku, wahai Makelar,” katanya, “aku belum bisa membayar barangmu. Namun aku berjanji akan melunasinya secepatnya.”
Sebelum Sa’id sempat menjawab, wanita itu memandangnya dan berkata dengan lembut,
“Engkau pedagang jujur, bukan? Jangan khawatir. Aku yang akan membayar barang-barang itu.”
Ia memanggil pelayannya untuk membawa peti kecil berisi emas, lalu menyerahkannya kepada Sa’id. “Ini lebih dari cukup,” katanya. “Sebagai tanda terima kasih, ambillah juga cincin ini.”
Sa’id terkejut sekaligus lega. Ia berterima kasih dan pulang dengan hati senang, membawa pembayaran bahkan lebih besar dari harga yang dijanjikan.
Namun kisahnya tidak berakhir di sana. Ia tidak tahu bahwa malam itu akan mengubah hidupnya.
Malam Berdarah
Keesokan paginya, sebelum fajar, pintu rumahnya diketuk keras. Ketika dibuka, ternyata polisi kota berdiri di depan. Mereka menyeretnya tanpa penjelasan dan membawanya ke pengadilan.
Di sana, hakim berkata dengan dingin,
“Engkau dituduh membunuh seorang wanita di rumah al-Karkh dan mencuri barang berharganya!”
Sa’id terkejut. “Apa?! Aku tidak membunuh siapa pun!”
Namun di meja pengadilan sudah tergeletak kain sutra dan kalung emas yang kemarin ia jual. Dan saksi mengatakan bahwa mereka menemukan tubuh wanita cantik itu tergeletak bersimbah darah, sementara pemuda yang bersamanya menghilang.
Sa’id mencoba menjelaskan semuanya, tapi tak ada yang percaya. Hakim memutuskan untuk memenjarakannya dan menjadwalkan eksekusi esok pagi.
Malam itu, di dalam penjara, Sa’id berdoa dengan putus asa. Ia memohon agar Tuhan menunjukkan kebenaran, karena ia tahu dirinya tidak bersalah.
Misteri Terungkap
Tepat sebelum fajar, ketika ia duduk termenung, seorang lelaki berjubah masuk ke selnya. Ia tampak lelah dan berdebu, tapi matanya memancarkan tekad kuat. Lelaki itu berkata pelan,
“Engkau adalah makelar yang pernah menjual kain kepadaku, bukan?”
Sa’id menatapnya, lalu terkejut. “Engkau! Pemuda dari rumah al-Karkh!”
Pemuda itu mengangguk, lalu berkata dengan suara getir,
“Dengarkan aku, dan jika kau selamat, sampaikan kisah ini kepada khalifah agar aku bisa diampuni.”
Ia pun menceritakan bahwa malam sebelumnya, setelah Sa’id pergi, wanita itu mulai cemburu karena ia menerima barang dari orang lain tanpa seizin dirinya. Pertengkaran terjadi, dan dalam amarah, sang wanita mengambil pisau dan mencoba melukai pemuda itu. Mereka berebut pisau, dan tanpa sengaja, wanita itu tertikam oleh tangannya sendiri.
Pemuda itu panik, menutup tubuh wanita itu dengan kain sutra, dan melarikan diri lewat pintu belakang. Namun setelah menenangkan diri, ia sadar bahwa Sa’id pasti akan disalahkan, karena hanya dia yang terlihat datang terakhir ke rumah itu.
Karena itulah ia kini datang menyerahkan diri, agar makelar Kristen itu tidak dihukum mati.
Keadilan yang Ditunda
Keesokan harinya, keduanya dibawa ke pengadilan. Hakim mendengarkan pengakuan pemuda itu, lalu mengirim pesan ke istana agar kasus ini dibawa ke hadapan Khalifah Harun Al-Rasyid sendiri.
Khalifah mendengar kisah lengkap mereka dengan seksama. Ia memandang Sa’id dan berkata:
“Engkau makelar yang jujur. Engkau ditimpa kesialan hanya karena kepercayaanmu yang tulus. Mulai hari ini, aku melindungimu dan memberimu izin berdagang di pasar tanpa pajak.”
Lalu ia menatap pemuda itu dan berkata,
“Engkau menyesal, dan aku melihat kejujuran dalam pengakuanmu. Namun engkau tetap bersalah karena lalai hingga menyebabkan kematian. Aku tidak akan menjatuhkan hukuman mati, tetapi engkau harus membayar diyat (tebusan) kepada keluarga wanita itu dan pergi dari Baghdad.”
Pemuda itu menunduk dalam-dalam, bersyukur karena mendapat ampunan.
Nasib yang Berbalik
Sejak hari itu, Sa’id, sang makelar Kristen, dikenal di Baghdad sebagai pedagang yang jujur dan murah hati. Khalifah Harun Al-Rasyid bahkan sesekali memanggilnya ke istana untuk berdagang barang-barang impor dari Syam dan Mesir.
Ia belajar bahwa kejujuran memang kadang membawa kesulitan, tapi pada akhirnya akan menyelamatkan seseorang dari kebinasaan. Ia tidak menyimpan dendam kepada pemuda yang nyaris membuatnya mati, karena baginya, setiap kejadian adalah ujian dari Tuhan.
Dan begitulah, kisahnya berakhir dengan kedamaian — meskipun penuh darah dan air mata di tengah jalan.
Pelajaran dari Kisah Si Makelar Kristen
Khalifah yang mendengarkan cerita itu mengangguk penuh kagum.
“Demi Allah,” katanya, “kisahmu sungguh luar biasa! Engkau selamat dari maut karena ketulusan dan keberanianmu.”
Ia lalu memerintahkan agar Sa’id diberi hadiah emas dan izin berdagang di seluruh pasar Baghdad tanpa pungutan.
Para hadirin di istana pun bertepuk tangan kagum.
Penutup
Setelah Sa’id selesai berbicara, Khalifah Harun Al-Rasyid tersenyum dan berkata:
“Wahai Scheherazade, sungguh menakjubkan bagaimana dari satu kematian lucu — kematian Si Bongkok — lahir begitu banyak kisah penuh hikmah. Kisahmu ini mengingatkan kami bahwa hidup tak sekadar tertawa, tapi juga belajar dari setiap peristiwa.”
Scheherazade pun menunduk hormat, lalu berkata lembut,
“Wahai Raja yang bijak, jika engkau mengizinkan, malam esok aku akan melanjutkan dengan kisah lain yang lebih menakjubkan — kisah Si Yahudi, Si Insinyur, dan Si Tukang Roti, yang juga terhubung dengan Si Bongkok.”
Raja Shahryar yang terpikat menjawab, “Baiklah, aku ingin mendengarnya.”
Dan fajar pun menyingsing. Cerita malam itu berakhir, tapi kisah seribu satu malam lainnya baru saja dimulai.