Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid di kota Baghdad, hiduplah seorang pelawak istana yang tubuhnya kecil dan bungkuk. Wajahnya lucu, suaranya cempreng, dan gaya bicaranya selalu berhasil membuat orang tertawa. Karena kelucuannya, ia dipanggil “Si Bongkok”, dan hampir setiap malam ia menghibur khalifah dengan nyanyian dan lelucon.
Suatu malam, setelah menghibur khalifah di istana, Si Bongkok diundang makan malam oleh seorang penjahit yang tinggal tak jauh dari sana. Si penjahit ini dikenal baik hati dan dermawan. Ia dan istrinya menyukai tawa, dan begitu mendengar bahwa pelawak istana lewat di depan rumahnya, mereka segera memanggilnya.
“Wahai Tuan Bongkok, kemarilah! Kami baru saja menyiapkan makan malam. Sudilah engkau bergabung dengan kami.”
Si Bongkok, yang tak pernah menolak ajakan makan, segera masuk ke rumah itu dengan senyum lebar. Di meja sudah tersaji roti, ikan goreng, dan semangkuk besar sup hangat yang harum.
Mereka bertiga makan bersama sambil bercanda. Istri si penjahit pun ikut tertawa mendengar kisah lucu dari Si Bongkok. Namun, di tengah tawa itu, nasib buruk menimpa tamu mereka.
Kematian Tak Sengaja
Ketika Si Bongkok mengambil sepotong ikan goreng, tulang kecil tersangkut di tenggorokannya. Ia tersedak keras, mukanya memerah, dan matanya terbelalak. Penjahit dan istrinya panik, mencoba menepuk-nepuk punggungnya, namun sia-sia. Dalam hitungan detik, Si Bongkok terkulai lemas, nafasnya berhenti.
Keduanya saling berpandangan dengan wajah pucat.
“Ya Allah! Kita telah membunuh pelawak kesayangan khalifah!” seru si penjahit ketakutan.
Istrinya gemetar.
“Jika khalifah tahu, kita pasti dihukum mati. Apa yang harus kita lakukan?”
Setelah berpikir keras, si penjahit mendapat ide nekat.
“Kita harus mengalihkan mayat ini ke tempat lain agar orang mengira kematiannya terjadi di sana.”
Maka malam itu, dengan hati berdebar, mereka membungkus jasad Si Bongkok dengan kain dan membawanya diam-diam melalui jalan belakang menuju rumah seorang dokter Yahudi yang terkenal sering menerima pasien malam hari.
Ketika sampai, mereka mengetuk pintu.
“Wahai tabib,” kata penjahit, “temanku sakit parah. Tolong periksalah segera.”
Dokter yang baik hati itu pun membuka pintu. Tapi begitu ia menunduk memeriksa tubuh Si Bongkok, penjahit dan istrinya mendorong mayat itu ke dalam rumah lalu cepat-cepat kabur.
Sialnya, tubuh Si Bongkok terjatuh menimpa dokter, membuatnya terpukul di dada. Saat menyadari orang di atasnya sudah tak bernyawa, tabib itu berteriak ketakutan.
“Astaga! Aku membunuh orang!”
Mayat yang Berpindah Tangan
Sama seperti si penjahit, dokter Yahudi pun panik. Ia berpikir kalau khalifah tahu dirinya membunuh pelawak istana, maka hidupnya tamat. Maka, ia berusaha menyingkirkan mayat itu dengan cara yang sama.
Ia menunggu hingga jalan sepi, lalu memanggul tubuh Si Bongkok ke gang belakang rumahnya. Kebetulan, di gang itu tinggal seorang tukang roti yang sedang sibuk memanggang roti untuk dijual pagi nanti.
Tabib mengetuk pintu.
“Wahai tukang roti, maukah engkau membeli gandum dariku?” katanya berbohong.
Tukang roti membuka pintu sedikit, dan dokter langsung melempar tubuh Si Bongkok ke dalam rumah dan kabur tanpa menoleh.
Tukang roti yang kaget hanya sempat berteriak,
“Hei, apa ini?!”
Ia menyalakan lampu dan terkejut mendapati seorang pria tak bernyawa di tengah rumahnya. Ia memeriksa, dan mengenali wajah itu: pelawak istana!
“Celaka, ini Si Bongkok!” serunya. “Kalau penjaga istana tahu ia mati di rumahku, aku pasti digantung!”
Dengan cepat, ia memutar otak. Ia menunggu beberapa waktu hingga lewat tengah malam, lalu mengangkat jasad itu menuju rumah seorang pelayan istana Kristen yang sering datang membeli roti. Rumah pelayan itu dekat dengan pasar.
Ketika sampai, tukang roti mengetuk pintu keras-keras.
“Bangunlah! Aku bawa barang untukmu!”
Pelayan Kristen yang tengah tertidur membuka pintu sambil mengantuk. Tapi saat ia membuka sedikit, tukang roti mendorong mayat itu ke dalam dan langsung lari.
Tubuh Si Bongkok jatuh menimpa pelayan Kristen, membuatnya terjerembab. Saat melihat wajah mayat itu, ia berteriak,
“Demi Tuhan, aku celaka! Aku membunuh orang!”
Di Hadapan Penjaga Kota
Pelayan itu bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Namun karena takut orang mengira ia membunuh pelawak istana, ia memutuskan membawa mayat itu keluar rumah dan menyandarkannya di gang sempit dekat pasar agar seolah-olah pria itu mabuk tertidur.
Namun, kebetulan saat itu patroli penjaga kota lewat. Melihat seseorang duduk di gelap-gelap, mereka meneriakinya.
“Hai, siapa di sana?”
Tidak ada jawaban.
Salah satu penjaga mendekat dan menepuk pundak orang itu. Karena tubuhnya kaku, Si Bongkok jatuh ke tanah, kepalanya terbentur batu. Penjaga yang kaget langsung berteriak,
“Wahai Tuhan, aku telah membunuhnya!”
Mereka menyalakan lampu dan mendapati wajahnya. Salah satu penjaga berseru,
“Ini pelawak istana! Celaka, kita membunuh Si Bongkok!”
Tak mau disalahkan sendiri, mereka memanggil rekan-rekannya dan membawa mayat itu ke istana. Keesokan paginya, kabar kematian pelawak kesayangan khalifah menyebar ke seluruh Baghdad.
Khalifah Turun Tangan
Khalifah Harun Al-Rasyid yang mendengar kabar itu murka. Ia memerintahkan Wazir Ja’far al-Barmaki untuk mencari pelakunya secepat mungkin.
“Temukan pembunuhnya dalam tiga hari, Ja’far,” titah khalifah, “atau engkau yang akan menebus nyawanya!”
Wazir Ja’far segera memerintahkan pasukannya menyelidiki. Dalam satu hari, mereka menemukan pelayan Kristen yang terakhir terlihat dengan jasad Si Bongkok. Ia pun ditangkap dan dibawa ke hadapan khalifah.
Harun Al-Rasyid memandangnya tajam.
“Mengapa engkau membunuh pelawakku?”
Pelayan itu gemetar ketakutan.
“Ampun, Tuanku! Aku tidak membunuhnya. Aku menemukan dia sudah mati di depan rumahku!”
Namun khalifah tak mau mendengar alasan. Ia memerintahkan algojo bersiap menebas leher pelayan itu. Saat pedang sudah diangkat, tiba-tiba tukang roti berlari masuk ke aula istana.
“Berhenti! Jangan bunuh dia! Akulah pembunuhnya!” teriak tukang roti.
Semua terkejut. Wazir Ja’far memandang khalifah, lalu memerintahkan agar eksekusi ditunda.
“Ceritakan yang sebenarnya,” kata Ja’far.
Tukang roti pun menceritakan bagaimana ia menemukan tubuh Si Bongkok dilemparkan oleh seseorang ke rumahnya. Namun belum sempat ia selesai, dokter Yahudi datang tergesa-gesa sambil berteriak,
“Jangan salahkan dia, Tuan! Akulah yang membunuh Si Bongkok!”
Ruang sidang istana pun geger. Semua saling menatap heran. Tak lama, penjahit dan istrinya juga muncul dan mengaku bahwa mereka yang menyebabkan Si Bongkok tersedak.
Khalifah tertawa heran mendengar pengakuan beruntun itu.
“Jadi, siapa yang benar-benar membunuhnya?” tanyanya.
Mereka lalu diminta menceritakan kisah masing-masing secara berurutan, dari si penjahit, dokter Yahudi, tukang roti, hingga pelayan Kristen.
Setelah mendengar semuanya, Khalifah Harun Al-Rasyid tertawa terbahak-bahak. “Sungguh luar biasa! Tidak pernah aku mendengar kisah yang lebih aneh dari ini.”
Namun sebelum khalifah memutuskan hukuman, seorang juru mudi kapal Cina yang baru tiba di pelabuhan datang ke istana membawa peti barang dagangan. Ketika ia melihat tubuh Si Bongkok di hadapan khalifah, ia langsung berteriak,
“Tuanku! Jangan salahkan mereka! Akulah yang sebenarnya menyebabkan kematian pria itu!”
Semua orang menatapnya tak percaya.
“Bagaimana bisa?” tanya khalifah.
Pengakuan dari Pedagang Cina
Pedagang Cina itu menjelaskan dengan hati-hati.
“Tuan Khalifah, aku yang menjual ikan goreng kepada Si Penjahit malam itu. Ikan itu telah aku simpan lama di tempat asin dan mungkin tulangnya mengeras. Aku yang menyebabkan tulang itu tersangkut di tenggorokan pria ini. Jadi, bila ada yang harus dihukum, akulah orangnya.”
Mendengar penjelasan itu, khalifah kembali tertawa terbahak.
“Jadi bukan karena sengaja dibunuh, melainkan karena sepotong ikan asin!”
Semua yang hadir pun ikut tertawa lega.
Khalifah lalu memerintahkan agar jasad Si Bongkok dimakamkan dengan hormat, dan tidak ada seorang pun yang dihukum.
Namun Harun Al-Rasyid, yang gemar mendengar kisah aneh, berkata kepada mereka,
“Karena kisah kalian sungguh menakjubkan, aku ingin mendengar cerita lebih lanjut dari kalian semua. Siapa yang bisa menceritakan kisah lebih menakjubkan daripada peristiwa ini, akan kuhadiahi emas dan perak!”
Maka masing-masing dari mereka — penjahit, dokter Yahudi, tukang roti, dan pelayan Kristen — mulai menceritakan kisah kehidupan mereka yang panjang dan penuh keajaiban.
Berikut adalah Kisahnya
- Penjahit
- Dokter Yahudi
- Tukang Roti
- Pelayan Kristen
Ending Cerita
Demikianlah kisah “Si Bongkok”, salah satu cerita paling terkenal dalam Seribu Satu Malam. Cerita ini bukan hanya mengandung humor dan kebetulan yang aneh, tetapi juga gambaran tentang sifat manusia: takut, licik, lucu, namun pada akhirnya saling terhubung dalam takdir yang tak bisa dihindari.
Setelah kisah ini selesai, Ratu Scheherazade — yang sedang bercerita kepada Raja Shahryar untuk menunda kematiannya — menatap suaminya dengan lembut dan berkata,
“Wahai Raja yang agung, kisah ini belum berakhir, karena dari kisah Si Bongkok lahir cerita lain yang lebih menakjubkan…”