Cerita 1001 Malam – Kisah Pemanggul Barang dan Tiga Perempuan Baghdad: Kisah Pengembara Ketiga

Pewaris Tahta yang Terasing

Aku berasal dari keluarga bangsawan. Ayahku adalah raja dari sebuah negeri besar yang damai. Sejak kecil, aku tumbuh dalam kemewahan dan ilmu pengetahuan. Guru-guru terbaik mengajarku tentang sejarah, sastra, filsafat, dan seni bela diri.

Saat aku sudah cukup umur, ayahku mulai mempersiapkanku sebagai pewaris tahta. Namun hidup, seperti laut yang tenang, bisa mendadak berubah menjadi badai.

Pada suatu malam, seorang pamanku—adik dari ibuku—datang dengan kabar bahwa kerajaan tetangga yang dahulu menjadi sekutu, kini menaruh curiga dan ingin menyerang. Ayahku mengutusku untuk mengantarkan pesan damai ke raja mereka sebagai bentuk itikad baik.

“Tunjukkan bahwa kita menginginkan perdamaian, bukan permusuhan,” titah ayahku.

Aku pun berangkat dengan kapal besar, membawa hadiah-hadiah terbaik dan ditemani pengawal-pengawal terpercaya.

Kapal Tersesat, Takdir Berubah

Namun takdir berkata lain.

Dalam perjalanan laut, badai besar menggulung kapal kami. Ombak setinggi gunung menerjang tanpa ampun. Kapten kapal berteriak, pelaut-pelaut berdoa. Aku hanya bisa pasrah dalam pelukan gelapnya malam.

Keesokan harinya, aku tersadar di sebuah pantai asing. Semua awak kapal—hilang. Harta yang kubawa—lenyap. Aku sendiri, tanpa senjata, tanpa pelindung, tanpa arah.

Namun aku tetap melangkah, berjalan ke pedalaman pulau, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan.

Pulau Ajaib dan Makhluk Raksasa

Pulau itu sunyi dan aneh. Pohon-pohon tinggi menjulang, buah-buahnya berwarna mencolok, namun tidak ada suara burung atau binatang. Tiba-tiba, aku mendengar getaran dari tanah. Sesuatu… besar… sedang mendekat.

Aku bersembunyi di balik semak. Lalu muncullah sosok yang tak pernah kuduga: seorang raksasa bermata satu, bertubuh kekar seperti bukit, dan berjalan dengan langkah berat seperti gemuruh guntur.

Matanya satu, besar, dan berkilau seperti bara api. Ia mengenakan sabuk dari kulit ular raksasa dan memegang tongkat sebesar batang pohon kelapa.

Aku sempat ingin lari, tapi tubuhku membeku. Raksasa itu menangkapku seperti anak ayam. Ia tidak bicara, hanya menggeram. Ia membawaku ke sebuah gua besar tempat tinggalnya. Di sana, aku melihat banyak tulang manusia—mungkin korban-korban sebelumnya.

Aku tahu bahwa hidupku dalam bahaya.

Melarikan Diri Dari Pulau

Setelah malam tiba, raksasa itu tertidur. Dengkurannya seperti gemuruh gunung meletus. Dalam diam, aku melihat obor menyala di dinding gua. Dengan cepat aku mengambilnya dan menyusun rencana.

Aku ingat kisah Ulysses dari Yunani, yang menancapkan tombak panas ke mata raksasa untuk melarikan diri. Maka aku pun membakar ujung tombak kayu dan—dengan segala keberanian yang kumiliki—menusukkannya ke mata si raksasa.

Ia meraung dan berguling, mengguncang gua seperti gempa. Tapi aku berhasil kabur dalam gelap, berlari ke hutan hingga tubuhku penuh luka dan lecet.

Akhirnya, aku mencapai pantai dan—dengan penuh keberuntungan—menemukan perahu kecil yang ditinggalkan. Aku menggunakannya untuk melarikan diri ke laut lepas.

Negeri Ajaib dan Ujian Baru

Setelah berhari-hari terapung, aku terdampar di sebuah kota yang indah bak surga. Penduduknya ramah, arsitekturnya luar biasa, dan penguasanya dikenal bijak.

Saat aku dibawa menghadap sang raja, aku menceritakan petualanganku. Raja terkesan dengan kisahku dan memintaku tinggal. Ia menjadikan aku penasihat istana.

Namun sekali lagi, nasib tidak bisa ditebak. Beberapa menteri yang iri mulai menebar fitnah. Mereka menyebarkan cerita bahwa aku adalah mata-mata dari negeri lain. Raja pun mulai curiga.

Sebelum sempat membela diri, aku ditangkap dan dihukum pengasingan. Tapi anehnya, raja tidak menjatuhkan hukuman mati. Ia berkata:

“Aku tak yakin kau bersalah, tapi demi ketertiban, aku harus mengusirmu.”

Menjadi Pengembara dan Bertemu Saudara Nasib

Dari situlah hidupku sebagai pengembara dimulai. Aku mencukur rambut dan janggutku, mengganti pakaianku menjadi jubah musafir, dan mengembara dari negeri ke negeri. Aku mengunjungi kota-kota besar dan istana-istana agung, mencari makna hidup dan pelajaran dari luka-luka masa lalu.

Dalam perjalananku, aku bertemu dengan dua pengembara lain yang kini duduk bersamaku malam ini. Mereka juga bangsawan, kehilangan segalanya, dan membawa kisah-kisah luka.

Kami lalu tiba di rumah ini, bertemu dengan tiga wanita yang mulia dan aneh, dan kini berdiri di hadapan kalian menceritakan kisah kami masing-masing.

Ending

Ketika Kalandar Ketiga menyelesaikan kisahnya, suasana ruangan sunyi. Semua tamu terpana oleh kisah penuh nasib, keajaiban, dan penderitaan.

Perempuan tertua dari ketiga wanita pun mengangguk dalam, lalu berkata:

“Tiga kisah telah kalian sampaikan, dan tiga luka telah kalian buka. Kini, saatnya kami menjawab… siapa kami sebenarnya, dan mengapa kami tinggal di rumah yang penuh tanda tanya ini.”

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *