Cerita 1001 Malam – Kisah Pemanggul Barang dan Tiga Perempuan Baghdad: Kisah Pengembara Kedua

Anak Saudagar yang Terlena Kemewahan

Namaku… dulunya bukan kalandar. Aku adalah putra seorang saudagar kaya raya yang terkenal di seluruh negeri. Ayahku memiliki kapal dagang yang mengarungi tujuh lautan, gudang rempah-rempah dan permata, serta rumah-rumah besar di berbagai kota.

Sejak kecil aku dimanjakan, hidup dalam kemewahan. Namun saat ayah meninggal, aku mewarisi seluruh harta kekayaannya. Bukannya mengelola bisnis dengan bijak, aku malah menghamburkan uang untuk pesta, perjalanan, dan kesenangan. Teman-temanku hanya mendekat saat aku memberi, tapi lenyap saat kantongku kosong.

Setelah beberapa tahun, kekayaanku habis, rumah-rumah dijual, dan aku hanya tinggal seorang diri di kamar kecil milik salah satu bekas pelayan kami.

Namun aku tak ingin menyerah. Aku menjual barang terakhirku—sebuah cincin permata warisan ayah—dan menyewa tempat kecil di pelabuhan. Di sana aku memulai hidup baru sebagai pedagang rempah keliling. Aku mengumpulkan barang dagangan dengan sisa modalku dan naik kapal untuk berdagang ke negeri seberang.

Pulau Misterius dan Gerbang yang Terbuka Sendiri

Kapal kami berlayar lancar selama dua pekan hingga akhirnya mendarat di sebuah pulau hijau yang tampak tak berpenghuni. Di tengah-tengahnya terdapat gerbang batu besar yang tiba-tiba terbuka sendiri. Penumpang kapal penasaran dan mulai masuk satu per satu.

Aku termasuk yang ikut masuk. Di dalam gerbang itu ada lorong panjang menuju sebuah aula besar yang dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan aneh: gambar kuda bersayap, burung berkepala manusia, dan wanita yang menangis darah.

Tiba-tiba muncul seorang lelaki tua berjubah ungu, matanya tajam dan berjenggot perak. Ia berkata:

“Kalian dipilih untuk menjadi pelayan dalam istana Raja Ifrit.”

Sebelum kami sempat bertanya, ia mengayunkan tongkat dan semua penumpang termasuk aku ditepuk tongkat sihir hingga tak sadarkan diri.

Menjadi Pelayan di Istana Gaib

Aku terbangun di dalam istana marmer yang sangat indah, namun semuanya sunyi. Di sana hanya ada pelayan-pelayan berwajah sedih dan kamar-kamar kosong yang luas. Aku diberi pakaian emas, makanan lezat, dan tempat tidur empuk—tapi setiap malam aku harus berdiri memegang obor di depan pintu ruangan besar.

“Jangan masuk ke dalam, apa pun yang terjadi,” kata seorang pelayan tua padaku.

Namun suatu malam, terdengar tangisan perempuan dari balik pintu itu. Suaranya memilukan. Aku tak tahan, dan pada malam keempat aku membuka pintu itu diam-diam.

Di dalam, aku melihat seorang wanita berpakaian robek dan dirantai pada tiang batu, di sekitarnya banyak kitab dan alat-alat sihir. Ia memohon padaku:

“Bebaskan aku. Aku ditawan oleh Raja Ifrit. Hanya manusia berhati murni yang bisa melepaskanku.”

Aku terpikat dan mencoba membuka rantainya. Namun begitu aku menyentuhnya, lantai berguncang keras, dan asap hitam keluar dari dinding. Muncullah Ifrit raksasa dengan mata menyala merah.

Ia berteriak:

“Manusia durhaka! Berani kau menyentuh milikku!”

Ia hendak membunuhku, tapi wanita itu berteriak:

“Jangan bunuh dia. Jadikan ia pelajaran saja.”

Ifrit itu mengangguk, lalu mengubahku menjadi seekor kera hitam besar, dan melemparkan tubuhku ke luar istana.

Menjadi Kera yang Bisa Menulis

Aku hidup sebagai kera di hutan selama berhari-hari, hingga suatu hari aku ditemukan oleh seorang pedagang yang membawaku ke istana seorang raja penyayang binatang.

Raja itu terkejut karena aku bisa menulis huruf Arab menggunakan cakar dan pena. Ia pun memperlakukanku dengan hormat. Suatu hari, raja berkata:

“Jika kau makhluk yang terkutuk, aku akan membantumu.”

Ia memanggil tabib istana, dan setelah melakukan upacara, tabib itu membaca mantra dari kitab kuno. Tapi baru separuh mantra diucapkan, Ifrit itu muncul lagi, marah luar biasa.

Ia berteriak:

“Aku sudah melarang siapa pun membatalkan kutukanku!”

Dengan kemarahan yang membara, Ifrit itu membakar tabib menjadi abu, lalu membutakan salah satu mataku, dan melemparku ke padang pasir.

Menjadi Pengembara

Di padang pasir aku kembali menjelma sebagai manusia, tapi kini bermata satu. Aku lelah, putus asa, dan kehilangan segalanya.

Aku kemudian bertemu dengan rombongan pengembara yang menerima aku dengan tangan terbuka. Mereka berkata:

“Kami juga mantan bangsawan yang menjadi pengembara karena kutukan atau nasib buruk. Mari ikut kami, dan jadilah bagian dari kami.”

Sejak saat itu, aku berkeliling kota, membawa cerita masa lalu yang pahit, menyembunyikan luka dengan tawa, dan belajar menerima takdir dengan hati tenang.

Penutup

Setelah menyelesaikan kisahnya, kalandar kedua menunduk, lalu berkata:

“Beginilah nasibku hingga hari ini. Aku datang ke rumah ini bukan untuk mengganggu, tapi mencari tawa dan kebersamaan.”

Para hadirin terdiam, terenyuh mendengar kisah pangeran yang menjadi kera dan akhirnya kehilangan satu matanya karena melanggar larangan gaib.

Kemudian, perempuan tertua dari tuan rumah berkata:

“Kisahmu pahit tapi penuh pelajaran. Kami menerima kehadiranmu.”

Lalu giliran pun beralih ke Pengembara Ketiga, yang bersiap untuk menyampaikan ceritanya…

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *