Cerita 1001 Malam – Kisah Pemanggul Barang dan Tiga Perempuan Baghdad

Awal Cerita

Di kota Baghdad yang makmur dan sibuk, hiduplah seorang pemanggul barang—seorang pria muda yang sederhana, jujur, namun miskin. Setiap hari, ia berkeliling pasar menawarkan jasa memanggul barang kepada siapa saja yang berbelanja. Kehidupannya tidak mudah, tapi ia menjalani harinya dengan sabar dan ikhlas.

Suatu hari, saat ia berdiri menunggu pelanggan, muncullah seorang perempuan muda yang sangat cantik dan anggun, dengan jilbab halus menutupi wajahnya. Mata perempuan itu bersinar jernih, langkahnya ringan, dan tutur katanya lembut.

Perempuan itu menghampirinya dan berkata:

“Wahai pemuda, maukah engkau memanggulkan barang-barangku hari ini?”

Dengan senang hati si pemanggul mengangguk. Maka dimulailah perjalanan mereka berdua mengelilingi pasar-pasar Baghdad. Perempuan itu membeli berbagai makanan dan minuman mewah, anggur dari Syam, buah-buahan dari Persia, dan manisan dari Mesir. Ia juga membeli dupa, minyak wangi, dan alat musik kecil.

Setiap barang yang dibeli, diserahkan kepada si pemanggul untuk dibawa.

Sepanjang jalan, si pemanggul diam-diam terpukau oleh kecantikan dan kecerdasan perempuan itu. Ia merasa dirinya sedang dalam mimpi, berjalan di samping bidadari.

Setelah semua belanjaan selesai, perempuan itu berkata:

“Ayo, kita ke rumahku sekarang.”

Rumah Misterius

Si pemanggul mengikutinya hingga ke sebuah rumah besar di lingkungan elit Baghdad. Pintu gerbangnya tinggi, dan bangunan di dalamnya tampak seperti istana.

Saat pintu dibuka, muncul dua perempuan lain yang tak kalah cantik—satu berambut pirang emas, satunya berambut hitam dan bermata tajam. Mereka bertiga menyambut satu sama lain seperti saudari kandung.

Perempuan berjilbab memperkenalkan mereka:

  • Yang berambut pirang disebut Kakak Tertua.
  • Yang berambut hitam adalah Kakak Kedua.
  • Dan ia sendiri adalah Adik Bungsu, yang telah ditemani si pemanggul sepanjang hari.

Mereka mengajak si pemanggul masuk. Rumah itu ternyata lebih indah dari bayangannya—lantai marmer, jendela kaca patri, hiasan emas dan perak. Ada taman di dalam rumah, dan kolam air mancur di tengahnya.

Para perempuan itu menyuruh si pemanggul untuk duduk dan istirahat, sementara mereka menyiapkan makanan dan minuman. Tak lama kemudian, mereka semua makan bersama dengan riang.

Setelah makan, mereka minum anggur dan bermain musik. Si pemanggul, yang awalnya canggung, akhirnya terbawa suasana. Ia pun bercanda, menari, dan bahkan membaca puisi. Suasana menjadi semakin hangat dan akrab.

Namun, saat suasana sedang bahagia, tiba-tiba pintu diketuk keras.

Tiga Tamu Misterius

Para perempuan saling memandang, lalu sang kakak tertua berjalan ke pintu. Saat dibuka, tampak tiga orang pria asing, masing-masing buta sebelah mata. Mereka menyebut diri mereka tiga pengembara dari negeri jauh, yang sedang mencari tumpangan malam.

Perempuan itu awalnya ragu, tapi karena mereka mengaku ulama dan penyair, dan hanya ingin berteduh, akhirnya mereka diterima masuk—dengan satu syarat: tidak ada yang bertanya tentang rahasia rumah atau perilaku perempuan di dalamnya.

Tak lama, si pemanggul dan ketiga pengembara duduk bersama di ruang utama. Mereka makan, minum, dan tertawa. Tapi suasana berubah ketika salah satu pengembara melanggar janji dan bertanya:

“Wahai perempuan-perempuan cantik, mengapa kalian hidup tanpa laki-laki? Dan mengapa kalian menangis setiap malam di satu sudut rumah itu?”

Pertanyaan itu membuat wajah para perempuan berubah muram. Sang kakak tertua menatap ketiga pengembara dan si pemanggul lalu berkata:

“Kalian telah melanggar janji. Sebagai hukuman, kalian harus bersiap menerima cambukan… kecuali ada yang bisa menceritakan kisah hidupnya yang cukup aneh hingga membuat kami memaafkan.”

Kisah Para Pengembara

Satu per satu, ketiga pengembara menceritakan kisah masa lalu mereka yang luar biasa dan penuh penderitaan, mulai dari kehilangan mata karena pengkhianatan, perbudakan, hingga kutukan dari jin dan ratu lautan. Masing-masing cerita lebih ajaib dari yang lain, dan para perempuan mendengarkan dengan seksama.

Inilah kisah mereka:

Setelah cerita selesai, sang kakak tertua berkata:

“Kalian telah membuat kami terhibur dan bersimpati. Maka kami maafkan kalian.”

Suasana pun menjadi hangat kembali. Mereka melanjutkan pesta malam itu dengan tarian, musik, dan cerita-cerita baru.

Terungkapnya Rahasia Tiga Perempuan

Namun, malam belum usai. Tiba-tiba, pintu rumah kembali diketuk. Kali ini yang datang adalah Khalifah Harun al-Rasyid, menyamar sebagai rakyat biasa bersama wazirnya Ja’far dan pengawal Masrur. Mereka juga telah mendengar kabar tentang pesta di rumah perempuan misterius.

Dengan hormat, mereka diizinkan masuk dan ikut bergabung. Mereka pun juga tak boleh bertanya soal rumah ini. Tapi Khalifah—karena kebiasaan menyelidiknya—merasa harus tahu.

Akhirnya, setelah melihat bekas luka dan air mata ketiga perempuan, ia membuka penyamarannya dan berkata:

“Akulah Harun al-Rasyid, penguasa Baghdad. Dan aku memerintahkan kalian menceritakan yang sebenarnya.”

Maka sang kakak tertua menjawab.

Rahasia Penuh Luka dan Pengorbanan

Ternyata, tiga perempuan itu adalah putri dari seorang wazir besar yang dihukum mati karena fitnah politik. Setelah kematian ayah mereka, mereka hidup sendiri dan bersumpah untuk menjaga kehormatan dan rahasia keluarga mereka, tanpa campur tangan laki-laki mana pun.

Namun, setiap malam, mereka pergi ke ruangan rahasia dan menangis di depan dua kuburan yang tersembunyi di taman belakang. Kedua kuburan itu adalah saudara mereka yang dibunuh secara kejam oleh musuh politik kerajaan.

Sumpah mereka adalah untuk tidak menikah sampai pembalasan terhadap musuh ayah mereka ditegakkan, dan itu sebabnya mereka hidup dalam kesendirian penuh martabat.

Akhir Kisah

Khalifah Harun al-Rasyid terdiam mendengar kisah itu. Ia sadar bahwa ketiga perempuan ini adalah keturunan orang baik yang terzalimi. Ia kemudian berkata:

“Keadilan harus ditegakkan. Aku akan menghapus nama buruk ayah kalian, mengembalikan kehormatan keluargamu, dan memberi kalian perlindungan negara.”

Ketiga perempuan itu menangis bahagia. Si pemanggul, karena kebaikan dan kesetiaannya, diangkat menjadi pelayan istana. Ketiga pengembara diberi hadiah dan izin tinggal di Baghdad. Bahkan salah satu dari mereka menikah dengan adik bungsu.

Pesta malam itu pun berakhir dengan haru dan tawa. Sebuah kisah yang dimulai dengan anggur dan puisi, berakhir dengan pengampunan dan perubahan takdir.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *