Pembukaan
Ini adalah kelanjutan dari kisah pedagang dan jin dimana pedagang yang akan dibunuh oleh raja jin diberi keringanan hukuman karena cerita orang tua pertama.
Setelah orang tua pertama selesai bercerita dan Jin mengampuni sepertiga hukuman si pedagang, orang tua kedua melangkah maju. Ia membawa dua anjing hitam besar yang berjalan jinak di sisinya, seolah mereka adalah peliharaan setia.
Jin memperhatikan mereka dengan rasa penasaran, dan orang tua itu pun membuka kisahnya:
“Wahai Jin yang agung, jika engkau kagum dengan kisah orang tua pertama, maka izinkan aku menceritakan pengalamanku sendiri — tentang pengkhianatan dua saudara kandung, yang kini berdiri di hadapanmu dalam wujud dua anjing hitam ini.”
Tiga Saudara Pedagang
Dahulu kala, kami bertiga adalah saudara kandung yang sangat akrab. Kami berasal dari keluarga pedagang yang tinggal di kota pesisir. Saat ayah kami meninggal dunia, ia mewariskan toko, harta, dan kapal dagang kepada kami.
Aku, sebagai anak sulung, dikenal paling bijaksana dan berhati-hati. Dua adikku… mereka baik, tapi rakus dan tergesa-gesa dalam berbisnis.
Setelah kami membagi warisan, aku menggunakan bagian bagianku untuk membangun kembali usaha kami di kota. Aku membuka toko yang menjual rempah-rempah, kain, dan perhiasan. Lambat laun, usahaku berkembang pesat.
Sementara itu, kedua adikku memutuskan untuk berdagang ke negeri seberang, karena mereka mengira kekayaan bisa diperoleh cepat lewat pelayaran jauh. Aku tidak melarang, meski aku tahu risiko yang mereka ambil besar.
Kebangkrutan Dua Saudara
Tiga tahun kemudian, keduanya pulang ke rumah… dalam keadaan bangkrut total. Mereka telah tertipu, kehilangan kapal, barang dagangan, bahkan nyaris menjadi budak karena utang.
Sebagai kakak, aku tak sampai hati melihat mereka jatuh seperti itu. Maka, aku menyambut mereka kembali, memberinya tempat tinggal, dan bahkan membagi setengah dari kekayaanku sendiri untuk memulai usaha bersama.
Pelayaran Bersama
Beberapa tahun kemudian, ketika aku telah cukup kaya, aku berkata pada mereka:
“Mari kita berlayar bersama. Aku ingin mencari rempah dan barang-barang langka dari negeri jauh. Kali ini, kita semua akan berdagang secara jujur dan berhati-hati.”
Mereka menyetujui. Maka, kami membeli sebuah kapal besar, mengisi muatannya dengan barang dagangan terbaik, dan memulai pelayaran panjang melewati lautan, pulau-pulau, dan pasar-pasar asing.
Di setiap pelabuhan, aku yang menangani urusan dagang. Aku berhati-hati dan berunding dengan para pembeli, memastikan harga terbaik dan keuntungan yang adil. Dalam setahun, kami meraih keuntungan besar.
Kecemburuan yang Tersembunyi
Namun, aku tidak tahu bahwa dalam diam, kedua adikku mulai merasa iri. Mereka menganggap aku terlalu dominan, padahal semua keuntungan dibagi rata.
“Mengapa kakak selalu dipuji pembeli?”
“Mengapa semua pedagang percaya padanya?”
“Bukankah kita juga punya hak atas kekayaan ini?”
Demikianlah bisikan-bisikan gelap mulai tumbuh di hati mereka.
Pengkhianatan di Tengah Laut
Setelah berdagang selama satu tahun, kami pulang ke negeri kami dengan muatan penuh kekayaan. Dalam perjalanan pulang, kapal kami singgah di sebuah pulau kecil untuk mengambil air dan makanan.
Aku, yang merasa aman, turun dari kapal bersama para awak. Namun saat aku sedang berjalan di hutan untuk mencari buah, kedua adikku diam-diam memerintahkan para awak untuk meninggalkanku di pulau itu.
Mereka meninggalkanku begitu saja — tanpa makanan, tanpa alat, tanpa harapan.
Pertemuan Ajaib dengan Peri
Aku menghabiskan tiga hari tiga malam di pulau itu, bertahan hidup dengan memakan dedaunan dan buah pahit.
Pada hari keempat, aku bertemu seorang wanita misterius berwajah sangat cantik, berpakaian putih, dan kulitnya bersinar seperti bulan.
Ia berkata:
“Wahai manusia malang, bagaimana engkau sampai di sini?”
Aku menceritakan segalanya — tentang adik-adikku, tentang pelayaran kami, dan pengkhianatan mereka.
Wanita itu mengangguk, dan berkata:
“Aku adalah peri dari laut timur. Aku datang karena mendengar kesedihan hatimu mengguncang langit. Aku akan membantumu kembali.”
Dengan sihirnya, ia membawaku naik ke atas ombak yang menjelma seperti jembatan. Dalam sekejap, aku berada kembali di kampung halaman — lebih cepat dari kapal adik-adikku sendiri.
Keadilan Terjadi
Aku tiba beberapa hari sebelum kapal kami merapat. Aku mendengar bahwa mereka menyebarkan kabar palsu bahwa aku tewas karena penyakit. Mereka membagi hartaku dan berencana mengambil alih semua tokoku.
Aku diam, menunggu di rumah.
Ketika mereka tiba dan melihatku duduk di ruang tamu dengan tenang, wajah mereka pucat seperti kain putih. Mereka gemetar, tak mampu berkata-kata.
Aku tidak marah. Aku hanya berkata:
“Mengapa kalian tega?”
Mereka bersujud, menangis, dan memohon ampun. Tapi aku tahu, penyesalan mereka tidak tulus, hanya takut akan dibalas.
Malam harinya, peri itu muncul kembali, dan berkata:
“Ingin kah kau kubalas dendamkan pengkhianatan mereka?”
Aku menjawab:
“Tidak ingin mereka mati. Tapi aku ingin mereka merasakan kesepian, pengkhianatan, dan kesedihan seperti yang aku alami.”
Peri itu mengangguk, lalu menyulap kedua adikku menjadi anjing hitam besar. Ia berkata:
“Mereka akan menjadi anjing selama sepuluh tahun. Mereka akan mengikutimu ke mana pun, setia seperti bayangan, dan hanya bisa makan dari tanganmu. Jika setelah sepuluh tahun mereka menyesal tulus, maka mereka akan kembali menjadi manusia.”
Perjalanan dan Penyesalan
Sejak itu, aku membawa mereka ke mana pun aku pergi. Kini, telah sembilan tahun berjalan. Kedua anjing ini… mereka diam dan taat. Kadang aku lihat mereka meneteskan air mata. Entah karena menyesal atau sekadar takut — aku tak tahu pasti.
Permohonan kepada Jin
“Wahai Jin agung,” kata orang tua itu kepada Jin, “itulah kisahku. Jika engkau merasa kisahku cukup aneh dan menyentuh, maka kumohon… ampunilah sepertiga dari hukuman si pedagang ini, sebagaimana janjimu.”
Jin mengangguk dengan mata tajam. Ia berpikir sejenak, lalu berkata:
“Kisahmu memang penuh pengkhianatan dan sihir. Aku berkenan mengampuni sepertiga lagi dari hukuman pedagang ini.”
Kini hanya tinggal satu orang tua lagi yang belum berbicara.
Penutup Malam
Dan seperti biasa, Syahrazad menutup kisahnya saat fajar menyingsing.
Raja Syahriyar, yang masih terbuai dalam cerita, berkata:
“Esok, ceritakan padaku kisah orang tua ketiga!”
Syahrazad tersenyum dan menjawab:
“Dengan senang hati, wahai Raja. Asal engkau biarkan aku hidup satu malam lagi.”