Cerita 1001 Malam – Kisah Nelayan dan Jin dalam Botol: Kisah Suami dan Burung Beonya

Pengantar

Ketika Jin yang terperangkap dalam botol memohon agar sang nelayan membebaskannya, si nelayan menaruh curiga. Ia takut kalau-kalau Jin akan membunuhnya setelah dibebaskan. Untuk meyakinkan nelayan bahwa orang yang baik tidak seharusnya dibalas dengan kejahatan, Jin pun berkata:

“Janganlah engkau seperti seorang suami yang membunuh burung beonya sendiri hanya karena percaya pada dusta istrinya. Apakah engkau ingin tahu ceritanya?”

Sang nelayan mengangguk perlahan. Maka Jin memulai kisahnya…

Seorang Suami yang Terlalu Percaya

Pada zaman dahulu, di sebuah negeri yang jauh, hiduplah seorang pedagang kaya raya. Ia memiliki rumah megah, pakaian indah, dan segala kemewahan yang bisa dibayangkan. Namun, lebih dari semua itu, ia memiliki seorang istri yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam mengkilat, dan suaranya lembut seperti alunan seruling.

Akan tetapi, di balik keelokan paras sang istri, tersembunyi sifat yang tidak setia. Ia sering diam-diam keluar rumah saat suaminya berdagang dan bersenang-senang bersama pria lain. Ia merasa aman karena suaminya sering bepergian dan tidak pernah mencurigainya.

Namun, sang suami mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Ia merasa istrinya bersikap terlalu manis setiap ia pulang, seakan menutupi sesuatu. Ia pun mulai mencari cara untuk mengetahui kebenarannya.

Sang Burung yang Cerdas

Suatu hari, saat ia bepergian ke pasar besar, ia melihat seorang penjual burung yang memamerkan seekor burung beo kecil yang cerdas. Penjual itu berkata, “Tuan, burung ini bukan sembarang beo. Ia bisa mengulangi semua yang dilihat dan didengarnya di rumah. Ia bahkan bisa mengamati orang yang lewat, mendengar percakapan, dan menyampaikannya kembali dengan jelas.”

Mata sang pedagang langsung berbinar. Ia pun membeli burung itu dan membawanya pulang. Burung itu ia tempatkan dalam sangkar emas yang digantung di dalam rumah—tepat di tempat yang bisa melihat seluruh ruangan dan halaman depan.

Sebelum ia pergi berdagang, ia berkata kepada burung itu:

“Wahai burung cerdas, jagalah rumahku. Amati istriku. Jika ada seseorang datang menemuinya saat aku tidak di rumah, sampaikan padaku saat aku kembali.”

Burung itu mengangguk dan berkata, “Baik, tuanku. Aku akan melihat dan melaporkannya dengan jujur.”

Aib yang Terbongkar

Beberapa hari kemudian, sang pedagang kembali dari perjalanan dagangnya. Ia langsung mendatangi sang burung dan bertanya, “Ceritakan apa yang terjadi selama aku pergi.”

Burung itu berkata, “Wahai tuanku, saat malam tiba dan rumah menjadi sepi, seorang pria datang secara diam-diam. Ia disambut oleh istrimu. Mereka duduk bersama, tertawa, dan bercumbu seperti suami istri. Mereka bahkan menertawakanmu karena percaya buta kepada istrimu.”

Mendengar hal itu, sang suami menjadi marah dan patah hati. Tapi ia tak langsung menyerang. Ia menunggu beberapa hari, lalu kembali pergi berdagang.

Dan seperti sebelumnya, saat ia kembali, ia bertanya kepada burung itu. Burung itu melaporkan kejadian serupa. Dan itu terjadi lagi dan lagi dalam setiap perjalanan.

Sang pedagang kini sangat yakin bahwa istrinya telah mengkhianatinya. Ia merasa berhutang budi kepada burung itu yang telah membuka matanya.

Istri yang Licik dan Pendendam

Namun, sang istri mulai curiga bahwa suaminya mengetahui segalanya. Ia pun mengamati apa yang berubah. Ia melihat bahwa sang suami sering berbicara kepada burung itu saat pulang dari perjalanan.

Ia menyusun rencana jahat. Ia berpura-pura manis seperti biasa, lalu suatu malam, ia berkata pada budaknya:

“Aku tahu bahwa burung itu yang melaporkan tindakanku pada suamiku. Kita harus membuatnya terlihat seperti burung gila!”

Budaknya bertanya, “Bagaimana caranya, nyonya?”

Sang istri tersenyum licik dan berkata, “Malam ini, saat suamiku pergi, kita nyalakan lentera di sekeliling burung itu, kita goyangkan tirai, dan mainkan alat musik. Lalu kita siram air ke sangkarnya agar burung itu tidak bisa tidur dan bingung.”

Mereka pun melaksanakan rencana itu. Sepanjang malam, burung itu tidak bisa membedakan siang dan malam. Ia melihat cahaya terang, mendengar suara seperti badai, dan merasa terguncang oleh semua kegaduhan itu.

Burung yang Dituduh Bohong

Keesokan harinya, sang pedagang kembali dari perjalanan singkat. Ia bertanya kepada burung itu seperti biasa, namun burung itu berkata:

“Tuanku, aku tidak tahu apa-apa. Malam itu hujan deras, petir menyambar, dan rumah ini seakan dilanda badai.”

Sang pedagang heran. Ia menatap langit yang terang, dan bertanya kepada tetangganya, “Apakah semalam ada hujan atau badai?”

Tetangganya berkata, “Tidak, malam itu sangat cerah dan tenang.”

Sang pedagang kaget. Ia merasa telah dibohongi oleh burung itu.

“Ia rupanya hanya mengarang cerita!” gumamnya.

Ia marah besar, merasa telah ditipu oleh seekor burung. Ia mengambil burung itu dari sangkar, dan dengan tangan sendiri, ia membunuh burung yang setia itu.

Penyesalan yang Terlambat

Beberapa hari kemudian, salah satu pelayan lama di rumah yang sangat setia pada sang pedagang mendekatinya secara rahasia dan berkata:

“Tuanku… sesungguhnya burung itu tidak berbohong. Istrimu-lah yang mempermainkan sang burung. Mereka membuat suasana seperti badai buatan agar burung itu tampak bingung dan bicara ngawur. Ia tidak berdusta… ia disabotase.”

Wajah sang pedagang langsung pucat. Ia menggigil dan berkata, “Astaga… Aku membunuh satu-satunya sahabat yang jujur padaku karena aku termakan tipuan perempuan yang tak setia…”

Ia menyesal seumur hidup. Namun semua sudah terlambat. Burung itu telah mati, dan kebenaran telah dikubur bersama tubuh mungilnya.

Ending Cerita

Setelah selesai bercerita, Jin berkata kepada nelayan:

“Wahai manusia, lihatlah bagaimana si suami membunuh makhluk yang paling jujur karena ia terburu-buru mengambil kesimpulan. Sama sepertimu, jika kau membunuhku tanpa mendengar kebenaran dariku.”

Nelayan itu menunduk dalam-dalam, memahami makna dari kisah itu. Ia tahu bahwa membalas kebaikan dengan kematian adalah dosa besar, dan bahwa terkadang makhluk yang paling sederhana bisa menyampaikan kebenaran yang paling penting.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *