Cerita 1001 Malam – Kisah Nelayan dan Jin dalam Botol: Kisah Pangeran yang Disihir

Awal Mula: Kota Aneh di Tengah Lautan

Beberapa hari setelah menerima hadiah ikan warna-warni dari nelayan, sang Sultan merasa tertarik dan penasaran terhadap cerita nelayan. Ia pun memutuskan untuk melakukan perjalanan sendiri ke tempat di mana nelayan menemukan jin dalam botol, yakni di tepi pantai dekat gunung yang aneh.

Di sana, Sultan menemukan sebuah danau besar, yang di tengahnya berdiri sebuah kota megah yang tampak seperti terbentuk dari marmer putih dan permata, tapi tampak sunyi dan kosong. Aneh bin ajaib, karena tak ada tanda kehidupan manusia di kota tersebut.

Sultan mengelilingi kota itu, dan akhirnya bertemu dengan seorang pria muda yang duduk sendirian di halaman istana kota itu. Tubuhnya tampak tegap dan wajahnya tampan, tapi sorot matanya kosong dan penuh duka.

Pertemuan Sultan dan Pangeran

Sang Sultan menghampiri pemuda itu dan bertanya:

“Siapakah engkau, wahai pemuda? Di mana penghuni kota yang megah ini?”

Pemuda itu menunduk, dan air mata mengalir dari matanya. Ia menjawab dengan suara lirih:

“Wahai Sultan yang mulia, engkau melihat sekarang kota yang indah namun kosong. Dahulu, ini adalah kota yang makmur dan ramai, penuh kehidupan dan kebahagiaan. Aku adalah pangeran dari kota ini… sampai kutukan jahat datang dan menghancurkan segalanya.”

Sultan terkejut. “Kutukan? Dari siapa?”

Dan dengan nada sedih, sang pemuda mulai menceritakan kisah hidupnya…

Cinta yang Berubah Menjadi Bencana

Pangeran itu adalah putra dari seorang raja besar yang dicintai rakyat. Ia tumbuh dalam kemewahan dan kebijaksanaan, dan saat dewasa, dinikahkan dengan seorang wanita cantik dari negeri tetangga. Istrinya begitu memesona, halus tutur katanya, dan tampak sangat mencintainya. Semua orang memuji betapa beruntungnya sang pangeran.

Namun, cinta sejati ternyata tidak bisa dibangun hanya di atas kecantikan.

Beberapa bulan setelah menikah, sang pangeran mulai menyadari bahwa istrinya sering kali bersikap dingin dan menyendiri. Setiap malam, saat ia tidur, sang istri diam-diam bangkit dari tempat tidur dan menghilang dari kamar.

Penasaran dan curiga, suatu malam pangeran pura-pura tidur dan mengikuti istrinya secara diam-diam. Betapa terkejutnya ia saat mendapati sang istri masuk ke taman istana dan menemui seorang budak hitam yang tengah duduk di bawah pohon, dengan penuh kasih sayang.

Sang pangeran bersembunyi dan mendengar percakapan mereka. Sang istri berkata:

“Aku muak dengan suamiku yang membosankan. Kau satu-satunya yang membuat hatiku bergetar. Andai dia mati, aku akan hidup bebas bersamamu.”

Hati sang pangeran hancur. Tapi ia tidak berkata apa-apa malam itu. Ia kembali ke kamarnya dengan dada penuh luka.

Perang Sihir dan Pengkhianatan

Keesokan harinya, pangeran berusaha bersikap biasa, tapi hatinya bergolak. Ia menceritakan hal ini kepada ibunya, Ratu, yang merupakan perempuan bijaksana dan memahami ilmu sihir putih.

Sang Ratu menyuruh pangeran untuk tidak gegabah. Ia sendiri kemudian menyelidiki latar belakang menantunya. Setelah beberapa ritual dan mantera, Ratu mengetahui bahwa sang menantu bukan manusia biasa, melainkan penyihir wanita dari kalangan jin yang menyamar sebagai manusia untuk mencelakai kerajaan.

Ratu pun bergegas menyiapkan perlindungan bagi anaknya. Namun sayangnya, sebelum semua sihir perlindungan itu selesai, sang istri mengetahui rencana mereka.

Dengan kekuatan sihirnya, ia menyihir Ratu menjadi patung batu, dan menyihir sang Pangeran menjadi separuh manusia, separuh batu, dari pinggang ke bawah tidak bisa bergerak.

Tak hanya itu, ia juga menyihir seluruh penduduk kota menjadi ikan-ikan yang berenang di danau yang mengelilingi kota. Masing-masing kelompok ikan mewakili ras dan warna kulit berbeda—putih, merah, biru, dan kuning.

Kehidupan dalam Kutukan

Sejak hari itu, sang Pangeran hidup dalam kutukan. Ia duduk di halaman istana tanpa bisa bergerak, menyaksikan kota yang dulu ramai kini kosong seperti dunia orang mati. Istrinya hanya datang setiap hari untuk menertawakannya dan memperbarui sihir agar ia tetap tidak bisa lari.

Namun ada satu kelemahan sihir itu: sekali dalam sehari, sang istri harus menyentuhnya untuk memperkuat mantera. Bila dalam sehari ia tidak menyentuh pangeran itu, sihir bisa melemah.

Itulah sebabnya, setiap pagi, penyihir datang ke istana, menyentuh sang pangeran, dan mengucap mantera sihir.

Rencana Sultan untuk Membebaskan Kota

Setelah mendengar kisah memilukan itu, sang Sultan merasa marah sekaligus iba. Ia bertekad menyelamatkan pangeran, rakyatnya, dan kota yang terkutuk ini.

Ia diam-diam bermalam di istana dan menyusun rencana. Keesokan harinya, saat penyihir datang seperti biasa ke halaman istana untuk memperbarui mantera, Sultan menyelinap dari belakang dan menebas leher sang penyihir dengan pedangnya.

Penyihir pun jatuh dan mati seketika. Dengan kematiannya, sihir yang mengikat pangeran dan seluruh kota pun lenyap secara perlahan.

Langit yang kelabu menjadi cerah, tubuh sang pangeran berubah kembali utuh, dan para rakyat kota yang selama ini menjadi ikan pun kembali menjadi manusia. Mereka muncul dari danau dan berlari ke kota dengan bingung tapi gembira.

Batu yang dulunya adalah Ratu pun pecah menjadi debu, dan sang Ratu muncul kembali dalam wujud manusia, menangis penuh haru.

Akhir yang Bahagia dan Penuh Pelajaran

Sang pangeran berlutut di depan Sultan dan memeluknya erat-erat.

“Wahai Sultan, engkau bukan hanya penyelamatku, tapi penyelamat kerajaanku. Aku akan mengingat jasamu selama aku hidup.”

Sultan hanya tersenyum dan berkata, “Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan seorang manusia kepada sesamanya yang tertindas.”

Pangeran kemudian diangkat menjadi Raja, memimpin rakyatnya dengan penuh cinta dan keadilan. Ia tidak lagi mudah tertipu oleh kecantikan atau kata-kata manis, dan belajar untuk menilai seseorang dari hati dan tindakannya.

Penutup dari Cerita Nelayan dan Jin

Cerita pangeran yang disihir ini menjadi salah satu dari banyak kisah dalam Cerita Nelayan dan Jin yang diceritakan secara berantai oleh Sang Nelayan kepada Jin—sebagai pengingat bahwa membalas budi dengan kejahatan adalah perbuatan yang hina, dan bahwa kebaikan selalu akan membuahkan hasil pada akhirnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *