Bisakah Preman Berkedok Ormas Diberantas? Ternyata Bisa—Lihat Saja Contoh dari Jepang

Di jalanan kota besar atau di pinggiran pasar tradisional, kita sering melihat kelompok yang memakai seragam rapi dengan logo ormas tertentu. Tapi, di balik wajah “resmi” itu, sebagian dari mereka tak segan meminta uang keamanan, mengintimidasi pedagang, bahkan terlibat dalam konflik politik. Premanisme yang berlindung di balik nama organisasi masyarakat bukan hal baru di Indonesia. Namun pertanyaannya: bisakah mereka benar-benar dibasmi?

Jawaban singkatnya: bisa. Salah satu negara yang pernah menghadapi fenomena serupa adalah Jepang, dengan kelompok bernama Yakuza. Meski berbeda budaya, Jepang telah berhasil secara bertahap “menghilangkan” dominasi kelompok kekerasan ini dari ruang publik. Menariknya, pendekatan yang mereka gunakan bukan semata penindakan, tapi strategi yang sistematis, legal, dan sosial.

Lalu, bagaimana jika Indonesia mencoba menerapkan metode serupa? Artikel ini akan menjelaskan fenomena preman berkedok ormas, strategi Jepang melawan Yakuza, usulan strategi untuk Indonesia, dan mengapa pada akhirnya upaya ini sangat sulit dilaksanakan sepenuhnya.

Fenomena Preman Berkedok Ormas di Indonesia

Apa itu preman berkedok ormas?

Preman biasanya identik dengan individu atau kelompok yang menggunakan kekuatan atau ancaman untuk mendapatkan keuntungan—baik itu uang, kekuasaan, atau akses tertentu. Namun, di Indonesia, banyak dari mereka bertransformasi menjadi ormas legal: mereka punya akta notaris, surat keterangan dari pemerintah, bahkan seragam dan kantor resmi.

Tapi jangan tertipu oleh tampilan luarnya. Di lapangan, beberapa ormas ini:

  • Memalak pedagang di pasar dan terminal.
  • Menyediakan “jasa keamanan” berbayar secara paksa.
  • Menjadi alat tekanan terhadap kelompok politik lain.
  • Terlibat dalam perebutan lahan atau proyek pembangunan.
  • Bahkan, digunakan oleh aparat untuk “mengamankan” kegiatan yang berpotensi menuai protes.

Mengapa mereka sulit diberantas?

Karena status ormas memberikan mereka perlindungan legal dan politis. Banyak tokoh ormas punya kedekatan dengan partai politik atau aparat. Mereka dianggap “berguna” karena bisa mengumpulkan massa, menjaga keamanan, bahkan menyelesaikan konflik dengan cara informal. Preman yang dulu dihindari, kini justru diundang dalam rapat kampung.

Studi Kasus: Bagaimana Jepang Mengatasi Yakuza?

Siapa Yakuza?

Yakuza adalah sindikat kriminal di Jepang yang telah eksis selama ratusan tahun. Mereka punya struktur organisasi rapi seperti perusahaan, dan terlibat dalam:

  • Pemerasan
  • Judi ilegal
  • Perdagangan manusia
  • Investasi di sektor legal (properti, restoran, dll)

Dulu, Yakuza hidup terang-terangan. Mereka punya kantor resmi, kartu nama, bahkan membantu korban bencana. Tapi pada akhirnya, Jepang menyadari bahwa kejahatan terorganisir tak boleh dibiarkan berkeliaran bebas, meskipun “tertib”.

Langkah-Langkah Jepang Melumpuhkan Yakuza

  1. Undang-undang Khusus
    • Jepang mengesahkan Anti-Boryokudan Law pada 1992, yang memungkinkan pemerintah:
      • Menetapkan daftar kelompok berbahaya
      • Membatasi aktivitas dan keuangan mereka
      • Melindungi warga dari ancaman
  2. Sanksi Sosial dan Ekonomi
    • Bank dan perusahaan dilarang melayani anggota Yakuza.
    • Pelanggan yang ketahuan terkait Yakuza bisa ditolak oleh hotel, restoran, atau bank.
    • Pemerintah juga menempelkan peringatan di wilayah yang pernah dikuasai Yakuza.
  3. Kampanye Publik
    • Edukasi ke sekolah dan masyarakat soal bahaya Yakuza.
    • Penyediaan hotline khusus untuk melaporkan pemerasan atau ancaman.
  4. Tekanan Non-Kekerasan yang Konsisten
    • Bukan operasi militer atau tembak-tembakan, tapi pengeringan sumber daya dan reputasi sosial mereka.

Hasilnya? Jumlah anggota Yakuza turun drastis dari sekitar 80.000 pada tahun 1990-an menjadi sekitar 10.000–15.000 hari ini. Banyak yang meninggalkan organisasi, meski beberapa tetap eksis secara sembunyi-sembunyi.

Bisakah Indonesia Meniru Strategi Jepang?

Jawabannya: bisa. Tapi…

Jika usulan strategi nasional yang realistis ini dijalankan dengan serius, yaitu:

1. Regulasi Kuat terhadap Organisasi Kekerasan

  • UU Anti-Kekerasan Terorganisir Non-Negara: Membuat definisi jelas soal kelompok yang mengandalkan ancaman atau kekerasan, walau berbentuk ormas, bisa dibubarkan secara hukum.
  • Revisi UU Ormas: Tambahan pasal bahwa ormas yang terbukti melakukan kekerasan, pemalakan, atau intimidasi, harus segera dicabut status hukumnya.

2. Sanksi Keuangan dan Administratif

  • Blacklist untuk Ormas Preman: Pemerintah, bank, BUMN, dan perusahaan dilarang bekerja sama dengan kelompok tersebut.
  • Pemutusan fasilitas publik: Tidak boleh mengakses hibah, izin lokasi, atau surat keterangan resmi dari pemerintah.

3. Kampanye Sosial dan Edukasi Publik

  • Gerakan Nasional “Premanisme Bukan Pahlawan”
    • Mengedukasi masyarakat bahwa kekerasan dan pemalakan tidak bisa ditoleransi meski dilakukan oleh ormas.
    • Melibatkan tokoh agama dan adat untuk menyampaikan pesan damai dan hukum.
  • Labelisasi Kantor Ormas Pelanggar
    • Kantor atau posko yang terbukti digunakan untuk pemalakan bisa diberi stiker pelanggaran, untuk menurunkan kredibilitas mereka di mata publik.

4. Penegakan Hukum Khusus

  • Satgas Nasional Anti-Premanisme
    • Gabungan Polri, Kejaksaan, dan Kemenko Polhukam yang khusus memantau dan menangani organisasi kekerasan informal.
  • Pelaporan Aman dan Perlindungan Saksi
    • Masyarakat bisa melaporkan tanpa takut dibalas. Harus ada perlindungan bagi pelapor dan keluarganya.

5. Reintegrasi Mantan Preman

  • Program Keluar dari Premanisme
    • Bantuan kerja, pelatihan usaha, dan rehabilitasi sosial bagi anggota ormas yang ingin hidup normal tanpa kekerasan.

Kenapa Strategi Ini Mungkin Sulit Dijalankan?

Meski strategi di atas terlihat logis dan sistematis, ada sejumlah kendala berat yang membuat implementasinya di Indonesia sangat rumit.

1. Aparat juga butuh preman

Beberapa kasus menunjukkan bahwa aparat—baik dari kepolisian, militer, maupun pemerintah lokal—justru menggunakan jasa ormas untuk:

  • Menjaga proyek-proyek besar (misalnya saat pembangunan infrastruktur)
  • Menghalau demo warga
  • Mengamankan kampanye politik
  • Menjadi “jaringan intel informal”

Dalam situasi seperti ini, mustahil bagi negara untuk menindak kelompok yang justru dianggap “berguna”.

2. Politik Transaksional

Banyak ormas preman menjadi mesin suara saat pemilu. Mereka bisa mengerahkan ribuan orang untuk mencoblos atau menciptakan tekanan di TPS. Maka tak heran jika beberapa elite politik memberikan “jatah” proyek atau fasilitas demi dukungan.

3. Lemahnya Penegakan Hukum

Sering kali, aparat penegak hukum segan bertindak karena takut konflik atau karena hubungan kedekatan pribadi. Bahkan saat laporan dibuat, prosesnya lambat atau malah “diendapkan”.

4. Citra Ormas Sebagai Pahlawan Lokal

Di banyak daerah, ormas preman justru dianggap sebagai pelindung warga dari maling, debt collector, atau ancaman luar. Mereka dianggap “solusi lokal” ketika negara dianggap lambat atau abai.

Kesimpulan

Secara teori dan kebijakan, Indonesia bisa meniru strategi Jepang dalam menanggulangi kelompok preman berkedok ormas. Pendekatan yang menggabungkan hukum, sosial, dan sanksi ekonomi terbukti efektif di negara maju seperti Jepang.

Namun dalam praktiknya, Indonesia menghadapi hambatan serius: dari kebutuhan aparat terhadap ormas sebagai alat keamanan informal, hingga budaya politik transaksional yang masih kuat.

Selama preman masih dibutuhkan oleh negara dalam kondisi tertentu, maka premanisme tidak akan pernah benar-benar hilang. Yang bisa kita lakukan adalah mempersempit ruang gerak mereka sedikit demi sedikit—dengan regulasi, pendidikan publik, dan penegakan hukum yang konsisten.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *