Kebangkitan Aslan dan Pertempuran Besar
Fajar mulai menyingsing di atas Narnia, tetapi dingin dan kesedihan masih menyelimuti hati Susan dan Lucy. Mereka tetap berada di samping tubuh Aslan yang terbujur kaku di atas The Stone Table, bulu-bulunya yang pernah megah kini kusut dan surainya telah dicukur habis oleh pasukan White Witch. Hanya keheningan yang menemani mereka, seolah alam pun turut berduka atas kepergian sang Singa Agung.
Namun, sesuatu yang ajaib terjadi ketika sinar pertama matahari menyentuh permukaan Stone Table. Sebuah retakan halus mulai muncul di tengah batu besar itu, diikuti dengan suara gemuruh yang perlahan membesar. CRAAACK! Batu itu pecah menjadi dua bagian, dan tubuh Aslan—yang tadi terbaring tak bernyawa—hilang dari sana.
Susan dan Lucy yang tertidur di tepi meja itu terbangun dengan panik. “Aslan! Ke mana dia?” teriak Susan sambil melihat ke sekeliling.
Tiba-tiba, di tengah sinar pagi yang keemasan, sosok Aslan berdiri tegak, lebih megah dari sebelumnya. Surainya telah tumbuh kembali, lebih lebat dan berkilau, matanya bersinar penuh semangat.
“Aslan!” jerit Lucy penuh kebahagiaan, berlari dan memeluk leher sang singa. Susan menyusul, matanya penuh air mata bahagia. “Bagaimana bisa? Kami melihatnya sendiri… kau sudah mati.”
Aslan tersenyum lembut dan menunduk menatap mereka. “Ada hukum yang lebih tua daripada yang White Witch ketahui,” jelasnya. “Jika ada yang tak bersalah mengorbankan dirinya untuk pengkhianat, maka meja batu akan hancur, dan kematian akan dibatalkan.”
Susan dan Lucy terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. Harapan kembali tumbuh di hati mereka. “Jadi, kita bisa melawan White Witch sekarang?” tanya Susan penuh semangat.
Aslan mengangguk. “Kita tidak hanya akan melawannya, kita akan mengambil kembali Narnia.”
Tanpa menunggu lama, mereka berlari melintasi hutan bersalju menuju istana White Witch. Di sana, para makhluk yang selama ini menjadi batu akibat sihir jahat White Witch—centaur, satir, raksasa, bahkan burung-burung—dibebaskan oleh hembusan napas Aslan yang penuh keajaiban. Setiap kali ia menghembuskan napas ke arah patung batu, makhluk itu hidup kembali, meregangkan tubuhnya dan bergabung dalam pasukan Aslan.
Dengan pasukan yang kini semakin besar dan kuat, Aslan memimpin perjalanan menuju medan pertempuran, tempat Peter, Edmund, dan para prajurit Narnia sudah berhadapan dengan pasukan White Witch. Pertempuran berlangsung sengit. Pedang bertemu pedang, panah melesat di udara, dan makhluk-makhluk kegelapan bertarung melawan para pejuang Narnia.
Di tengah kekacauan itu, Peter memimpin dengan gagah berani, pedangnya menebas pasukan musuh tanpa gentar. Edmund, meskipun sebelumnya berkhianat, kini bertarung dengan penuh semangat di samping saudaranya, seolah menebus kesalahannya.
Di kejauhan, White Witch berdiri dengan tongkat esnya, mengubah setiap prajurit Narnia yang mendekat menjadi batu. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah raungan besar menggema di seluruh medan pertempuran. Aslan muncul, melompat tinggi dan menerjang langsung ke arah White Witch.
Pertarungan itu singkat namun dahsyat. White Witch mencoba menggunakan sihirnya, tetapi kekuatan Aslan tidak bisa ditandingi. Dalam satu serangan yang megah, Aslan menaklukkan White Witch, dan tongkat esnya hancur berkeping-keping.
Suasana hening sesaat. Pasukan White Witch yang tersisa tercerai-berai dan melarikan diri, sementara pasukan Narnia bersorak penuh kemenangan. Musim dingin abadi yang selama ini menjerat Narnia mulai mencair, salju perlahan hilang, dan bunga-bunga bermekaran di atas tanah yang dulu beku.
Di tengah sorak-sorai itu, Peter, Susan, Edmund, dan Lucy berkumpul di samping Aslan. Mereka tersenyum lebar, memandang Narnia yang akhirnya terbebas. Aslan menatap mereka dengan penuh kebanggaan. “Perjuangan kalian baru dimulai,” katanya. “Kalian akan memerintah Narnia sebagai raja dan ratu, dan kedamaian akan kembali ke negeri ini.”
Hari itu, di istana megah Cair Paravel, keempat bersaudara Pevensie dimahkotai sebagai Raja dan Ratu Narnia. Peter dikenal sebagai Peter the Magnificent, Susan sebagai Susan the Gentle, Edmund sebagai Edmund the Just, dan Lucy sebagai Lucy the Valiant.
Narnia kembali makmur dan damai, dipimpin oleh empat anak manusia yang dulu tidak ada seorang pun yang mempercayai mereka. Namun, petualangan mereka belum benar-benar berakhir, karena Narnia selalu menyimpan rahasia dan keajaiban di setiap sudutnya.
Kembali ke Dunia Nyata
Bertahun-tahun berlalu di Narnia. Di bawah pemerintahan Peter the Magnificent, Susan the Gentle, Edmund the Just, dan Lucy the Valiant, Narnia hidup dalam kemakmuran dan kedamaian. Negeri itu berkembang, musim dingin abadi sudah lama sirna, dan rakyat Narnia hidup makmur tanpa ketakutan.
Keempat bersaudara itu tumbuh menjadi raja dan ratu yang bijaksana. Peter memimpin pertempuran dengan gagah berani, Susan menjaga diplomasi dan hubungan antar-kerajaan, Edmund dikenal sebagai penegak hukum yang adil, dan Lucy menjadi kesayangan rakyat karena kelembutannya.
Namun, takdir mempertemukan mereka kembali dengan pintu yang pernah membawa mereka ke negeri ajaib itu. Suatu hari, saat mereka sedang berburu rusa putih di tengah hutan, mereka melihat binatang itu melesat lincah di antara pepohonan. Tanpa berpikir panjang, mereka menunggang kuda dan mengejarnya, tertawa dan berseru satu sama lain.
Rusa putih itu semakin menjauh, melintasi lembah dan padang rumput, hingga akhirnya masuk ke dalam hutan yang begitu rimbun. Keempatnya tak menyadari bahwa jalan yang mereka lewati terasa semakin akrab, seolah-olah membawa mereka menuju sesuatu yang pernah mereka kenal.
“Lihat itu!” seru Lucy sambil menunjuk ke arah pohon-pohon lebat yang mulai menipis. Di balik dedaunan yang rimbun, samar-samar mereka melihat sebuah lampu jalan tua yang berdiri di tengah salju yang mulai mencair.
“Kita kembali ke tempat pertama kali kita menemukan Narnia,” ucap Edmund, suaranya penuh keheranan.
Mereka saling pandang, senyap untuk beberapa saat, hingga Peter akhirnya berkata, “Ayo, kita lihat lebih dekat.”
Dengan langkah hati-hati, mereka mendekat ke arah lampu jalan itu. Di sekitarnya, salju perlahan mencair, dan di antara pepohonan tampak lemari pakaian besar yang separuh tersembunyi oleh ranting-ranting.
“Apa yang terjadi jika kita masuk?” tanya Susan, suaranya sedikit gemetar.
“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya,” jawab Peter dengan senyuman.
Tanpa ragu, mereka melangkah masuk, menyibakkan mantel-mantel tebal yang menggantung di dalam lemari itu. Rasa dingin tiba-tiba hilang, digantikan oleh aroma kayu dan debu yang familiar.
Mereka keluar dari lemari pakaian itu dan… tiba-tiba, mereka kembali ke ruangan besar di rumah Profesor. Semua terasa sama seperti saat pertama kali mereka masuk—pakaian mereka kembali seperti semula, tubuh mereka kembali menjadi anak-anak, dan tidak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa bertahun-tahun telah berlalu di Narnia.
Profesor yang sedang berjalan melewati ruangan itu berhenti sejenak dan menatap mereka. Senyumnya samar, seolah mengerti apa yang baru saja mereka alami.
“Kalian kembali, ya?” katanya lembut.
Peter, Susan, Edmund, dan Lucy saling pandang, lalu tersenyum. Mereka tahu, Profesor itu tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan. “Iya, kami kembali,” jawab Lucy.
Setelah itu, mereka hidup kembali di dunia manusia, menjalani hari-hari seperti biasa, tetapi dengan kenangan luar biasa yang takkan pernah pudar. Meskipun mereka kembali menjadi anak-anak, jiwa mereka tetap membawa pengalaman sebagai raja dan ratu dari negeri ajaib bernama Narnia.
Dan meskipun lemari pakaian itu tidak lagi membawa mereka kembali ke Narnia, mereka tahu bahwa negeri itu tetap ada, menunggu waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka lagi dengan Aslan dan petualangan yang lebih besar.