Bedah Buku “The Lion, the Witch and the Wardrobe”: Alur Cerita Narnia yang Melegenda

Pengkhianatan Terungkap dan Pertemuan dengan Aslan

Perjalanan keempat bersaudara itu di tengah hutan bersalju membawa mereka pada sebuah petualangan yang tidak terduga. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan sepasang berang-berang yang tampak gelisah namun ramah—Mr. dan Mrs. Beaver.

Mr. Beaver melambaikan tangan, mengisyaratkan mereka untuk mendekat. “Kalian anak-anak manusia, kan? Kami sudah menunggu kalian. Aslan sudah kembali,” bisiknya penuh semangat.

Mendengar nama Aslan, Lucy merasakan hangat di hatinya meskipun udara di sekeliling begitu dingin. “Siapa itu Aslan?” tanyanya.

“Dia adalah Singa Agung. Penguasa sebenarnya dari Narnia. Kembalinya Aslan berarti akhir dari kekuasaan White Witch sudah dekat,” jelas Mr. Beaver sambil mengajak mereka masuk ke rumah kecilnya yang hangat dan nyaman.

Di dalam, mereka duduk di meja kayu sederhana dan menikmati hidangan yang disiapkan Mrs. Beaver. Sambil makan, Mr. Beaver menceritakan tentang ramalan lama yang mengatakan bahwa ketika dua anak laki-laki dan dua anak perempuan duduk di empat takhta Cair Paravel, kekuasaan White Witch akan runtuh dan Narnia akan bebas dari musim dingin abadi.

“Jadi… itu kita?” tanya Peter, suaranya bergetar antara rasa takut dan harapan.

Mr. Beaver mengangguk. “Benar sekali. Dan Aslan akan membantu kalian. Tetapi kalian harus cepat, White Witch pasti sudah mengetahui kehadiran kalian.”

Wajah Edmund tiba-tiba berubah pucat. Sejak perjalanan mereka dimulai, ia terus merasa gelisah. Tidak ada yang tahu bahwa ia sudah bertemu White Witch sebelumnya, dan wanita itu sudah menanamkan janji-janji manis di pikirannya. Ketika yang lain sibuk membicarakan rencana bertemu Aslan, Edmund menyelinap keluar pelan-pelan, tanpa ada yang menyadari kepergiannya.

Di tengah dinginnya salju, Edmund berjalan seorang diri menuju istana White Witch. Langkahnya berat dan napasnya mulai membeku, tapi di benaknya hanya ada satu pikiran: permen Turkish Delight dan janji menjadi pangeran.

Setibanya di istana, White Witch menyambutnya dengan dingin. “Kamu datang sendirian? Di mana saudara-saudaramu?” tanyanya dengan tatapan tajam.

Edmund tergagap. “Mereka… mereka bersama berang-berang. Mereka akan menemui Aslan.”

Mendengar nama Aslan, wajah White Witch berubah marah. “Aslan? Mereka sudah menemukan Aslan?” Wajahnya memucat, dan suara lantangnya memerintahkan pasukannya bersiap. “Kamu berjanji akan membawa mereka ke sini! Pengkhianat!” serunya sambil menatap Edmund dengan penuh kebencian.

Sementara itu, di rumah Mr. Beaver, Peter, Susan, dan Lucy baru menyadari bahwa Edmund menghilang. Mereka panik dan mulai mencari ke luar rumah, namun jejak kaki di salju sudah tertutup lapisan es tipis.

“Dia pasti pergi ke istana White Witch,” ujar Mr. Beaver dengan suara pelan. “Dia pasti mengkhianati kita.”

Wajah Lucy memucat, sementara Peter mengepalkan tangan. “Kita tidak bisa menunggunya. Kita harus pergi menemui Aslan sekarang!” tegasnya.

Dengan perasaan bercampur antara takut, marah, dan cemas, mereka meninggalkan rumah kecil Mr. Beaver dan memulai perjalanan panjang menuju The Stone Table, tempat Aslan dan pasukannya menunggu. Salju semakin deras, udara semakin dingin, tetapi langkah mereka tidak goyah.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di sebuah lapangan luas yang dikelilingi pepohonan besar. Di tengah lapangan itu, tampak sosok singa agung yang berdiri megah dan penuh wibawa. Aslan.

Peter, Susan, dan Lucy langsung merasakan kehangatan yang luar biasa di hati mereka. Aslan berdiri dengan gagah, matanya memancarkan kebijaksanaan dan kekuatan. Ketika ia menatap ketiganya, mereka seolah lupa akan rasa takut dan kelelahan yang mereka alami sepanjang perjalanan.

“Selamat datang, anak-anak Adam dan Hawa,” ujar Aslan dengan suara dalam dan lembut. “Kalian sudah ditunggu.”

Keheningan menyelimuti tempat itu. Di hadapan Aslan, harapan mereka bangkit kembali. Mereka tahu, pertempuran untuk menyelamatkan Narnia baru saja dimulai, dan mereka tidak akan sendirian dalam melawan kejahatan.

Pengorbanan Aslan

Pertemuan dengan Aslan di The Stone Table membawa harapan baru bagi Peter, Susan, dan Lucy. Mereka merasakan kekuatan dan ketenangan yang luar biasa saat berada di dekat sang Singa Agung. Pasukan Aslan pun mulai berkumpul: para centaur yang gagah, raksasa yang perkasa, peri-peri hutan, dan makhluk-makhluk ajaib lainnya.

Namun, di balik kegembiraan itu, hati Aslan tampak berat. Matanya yang bijaksana memandang jauh ke arah hutan bersalju, seolah mengetahui bahwa badai besar sedang mendekat. Dan benar saja, tak lama kemudian, seorang utusan White Witch datang, ditemani oleh serigala-serigala yang tampak buas.

Utusan itu maju dan berbicara lantang, “Atas nama Jadis, Sang Ratu Agung dari Narnia, aku menuntut hakku. Ada seorang pengkhianat di antara kalian. Sesuai hukum Narnia yang kuno, setiap pengkhianat adalah milik Sang Ratu. Nyawanya adalah miliknya.”

Peter dan Lucy tersentak. Mereka tahu siapa yang dimaksud: Edmund. Wajah mereka memucat, sementara Susan menutup mulutnya, menahan tangis. Aslan berdiri tenang, meskipun sorot matanya tampak sendu.

“Aku ingin bicara dengan White Witch,” kata Aslan tegas.

Maka, sebuah pertemuan diadakan di tengah padang luas yang dikelilingi pepohonan tinggi. Di sana, Aslan dan White Witch berbicara dalam bisikan, jauh dari pendengaran yang lain. Percakapan itu berlangsung lama, dan tidak seorang pun tahu apa yang dibicarakan. White Witch tampak tersenyum licik ketika akhirnya mereka selesai berbicara.

Ketika ia pergi, Aslan kembali kepada para Pevensie. “Edmund akan selamat. Dia sekarang ada di bawah perlindunganku,” katanya singkat.

Malam itu, suasana di perkemahan tampak tenang, tetapi tidak dengan hati Aslan. Ia tampak gelisah, berjalan sendirian di tepi hutan, seolah memikirkan sesuatu yang berat. Lucy dan Susan yang memperhatikannya dari kejauhan, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Diam-diam, mereka memutuskan untuk mengikutinya. Aslan berjalan perlahan, langkahnya berat namun penuh wibawa. Ia melintasi sungai kecil dan menyeberangi padang yang diselimuti salju tipis, hingga tiba di tempat yang dikenal sebagai The Stone Table—sebuah meja batu besar yang megah dan penuh ukiran kuno.

Di sana, White Witch dan pasukannya telah menunggu. Para troll, serigala, dan makhluk-makhluk kegelapan berkumpul di sekitar meja batu, tertawa dan mencemooh kedatangan Aslan. Lucy dan Susan terkejut, tetapi mereka tidak bisa berteriak. Sesuatu di dalam hati mereka tahu bahwa ini adalah keputusan Aslan sendiri.

“Jadi, akhirnya kau datang,” kata White Witch sambil tersenyum penuh kemenangan. “Singa Agung yang hebat… menyerah tanpa perlawanan.”

Aslan tidak menjawab. Ia berdiri tegak, menatap lurus ke depan, sementara para makhluk kegelapan mulai mengikat kaki dan tangannya dengan rantai besi. Mereka mencukur surai emasnya yang megah, tertawa dan mengejeknya. Bagi Lucy dan Susan yang mengintip dari balik pepohonan, air mata mereka mengalir deras. Mereka tidak berani bergerak, tidak mampu berbuat apa-apa.

White Witch melangkah maju dengan tongkat esnya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. “Narnia adalah milikku. Tidak ada lagi yang bisa menolong kalian!” teriaknya sebelum mengayunkan tongkat itu ke arah Aslan. Dalam sekejap, Aslan terbaring diam di atas Stone Table, tidak bergerak.

Suasana di sekitar berubah hening. Para pengikut White Witch bersorak sorai, menyebar ke seluruh hutan, merayakan kemenangan mereka. Di sisi lain, Susan dan Lucy yang menyaksikan semua itu berlari ke arah tubuh Aslan yang tak bernyawa. Mereka menangis tersedu-sedu, memeluk bulu singa agung yang kini tak lagi berkilau.

“Ini semua salah kami,” isak Lucy. “Jika saja Edmund tidak berkhianat, jika saja kami bisa melakukan sesuatu…”

Namun, waktu terus berjalan, dan malam semakin larut. Mereka tetap di sana, duduk di samping Aslan, ditemani dinginnya embun dan kesunyian hutan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *