Pengkhianatan Edmund
Beberapa hari setelah petualangan singkat Lucy di Narnia, saudara-saudaranya masih menganggap ceritanya sebagai khayalan. Lucy sendiri tetap teguh pada pendiriannya bahwa Narnia itu nyata, meskipun ia diejek dan dianggap bermimpi.
Namun, semuanya berubah ketika suatu sore, keempat bersaudara itu kembali bermain petak umpet di dalam rumah besar Profesor. Kali ini, Edmund—yang terkenal sedikit nakal dan suka mengejek adik-adiknya—mengikuti Lucy yang berlari menuju ruangan tempat lemari pakaian itu berada.
Edmund, yang berniat mengejek Lucy jika ia menemukan adiknya sedang “berpura-pura,” masuk ke dalam lemari pakaian yang sama. Ia menyibakkan mantel-mantel tebal dengan wajah mengejek, tetapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Hawa dingin menyergap, dan di sekelilingnya, mantel-mantel itu menghilang, berganti menjadi pepohonan tinggi yang tertutup salju.
Matanya membelalak tak percaya. “Jadi… ini nyata?” gumamnya sambil menggosok-gosokkan tangannya yang mulai kedinginan. Edmund melangkah lebih jauh, mencoba memahami tempat aneh yang kini ada di hadapannya. Tidak jauh dari sana, ia melihat sesuatu yang berkilauan di antara salju—sebuah kereta luncur putih yang megah, ditarik oleh rusa kutub, dan dikendarai oleh seorang wanita tinggi berselimut bulu tebal.
Wanita itu menatap Edmund dengan mata tajam dan penuh wibawa. “Siapa kamu?” tanyanya dengan suara dalam dan dingin.
“Aku… aku Edmund. Edmund Pevensie,” jawabnya terbata-bata. Wanita itu tersenyum, meskipun senyumnya tampak dingin dan tidak bersahabat. “Jadi, kamu seorang manusia? Anak manusia di Narnia… sangat menarik,” ucapnya sambil menatap Edmund dengan penuh selidik.
Tanpa berpikir panjang, Edmund menerima tawaran wanita itu untuk naik ke kereta luncur. Di sana, ia disuguhkan Turkish Delight, permen manis yang lezat dan lembut. Setiap gigitan membuat Edmund semakin lupa diri, seolah-olah rasa manisnya membuatnya ingin memakan lebih banyak lagi.
Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai White Witch, penguasa Narnia. Dengan suara lembut dan penuh tipu muslihat, ia mulai bertanya tentang saudara-saudara Edmund, dan mengapa ia bisa sampai ke Narnia. Edmund, yang sudah terbuai dengan manisnya Turkish Delight, dengan mudahnya menceritakan segala hal—tentang Peter, Susan, dan terutama Lucy yang pertama kali menemukan Narnia.
Wajah White Witch tampak bersinar penuh kepuasan. “Bawa saudara-saudaramu kemari,” katanya lembut. “Jika kamu melakukannya, aku akan memberimu lebih banyak Turkish Delight, dan kamu akan diangkat menjadi pangeran di istanaku. Kamu akan memiliki segalanya.”
Edmund, yang tidak bisa melupakan rasa manis dari permen itu, mengangguk setuju. Ia berjanji akan membawa mereka semua ke Narnia, tanpa menyadari jebakan licik yang dipasang oleh White Witch. Sebelum berpisah, White Witch memperingatkan Edmund untuk tidak memberitahu siapa pun tentang pertemuan mereka.
Ketika Edmund akhirnya menemukan jalan kembali ke lemari pakaian dan keluar ke rumah Profesor, ia bertemu Lucy yang tampak sangat senang. “Akhirnya kamu percaya! Kamu sudah melihat Narnia!” seru Lucy penuh semangat.
Namun, yang terjadi justru mengejutkan Lucy. Di hadapan Peter dan Susan, Edmund berbohong dan mengatakan bahwa Lucy hanya berkhayal. Ia menertawakan Lucy dan menyebut bahwa semua itu hanya permainan imajinasinya. Lucy, dengan mata berkaca-kaca, tidak percaya dengan pengkhianatan kakaknya sendiri. Peter dan Susan pun semakin yakin bahwa Lucy hanya mengarang cerita.
Bagi Edmund, kebohongan itu adalah langkah pertama menuju pengkhianatan yang jauh lebih besar.
Masuknya Semua Saudara ke Narnia
Beberapa hari berlalu setelah kejadian di lemari pakaian itu, dan hubungan antara Lucy dan Edmund menjadi lebih dingin. Lucy kecewa karena Edmund tidak mengaku telah melihat Narnia, sementara Edmund terus berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Peter dan Susan pun semakin menganggap cerita Lucy hanya sekadar khayalan anak kecil.
Namun, keadaan berubah secara tidak terduga pada suatu sore. Anak-anak Pevensie sedang bermain di luar, tetapi terpaksa masuk kembali ke rumah saat hujan deras tiba-tiba mengguyur. Mereka berlari-lari masuk ke dalam rumah, tertawa dan menggigil kedinginan. Namun, suara langkah kaki mereka seketika terhenti ketika mendengar suara pintu berderit di ujung lorong.
“Cepat! Sembunyi!” seru Peter, dan tanpa berpikir panjang, mereka semua berlari ke ruangan yang paling dekat—ruang tempat lemari pakaian besar itu berada. Tanpa banyak pilihan, mereka berempat membuka pintu lemari itu dan merangkak masuk di antara mantel-mantel tebal yang bergelantungan.
“Ssst… jangan bersuara,” bisik Susan sambil menahan napas. Mereka berdempetan di dalam lemari, berharap tidak ditemukan oleh pembantu rumah tangga. Tetapi, beberapa menit berlalu, dan suara langkah kaki itu menghilang.
“Kurasa kita aman sekarang,” kata Peter, hendak membuka pintu lemari. Namun, tangannya berhenti ketika ia menyadari sesuatu. “Kenapa jadi dingin sekali di sini?”
Susan menyentuh mantel di sekitarnya dan merasakan sesuatu yang aneh. “Salju?” gumamnya tidak percaya.
Sebelum mereka sempat berpikir lebih jauh, Lucy yang berada di bagian depan tiba-tiba berseru, “Lihat! Aku bilang juga apa! Narnia itu nyata!”
Mereka terdiam sejenak, menatap hutan bersalju yang terbentang luas di depan mereka. Pepohonan tinggi menjulang, dan lapisan salju putih menyelimuti setiap ranting dan tanah yang mereka pijak. Udara dingin menggigit kulit, dan nafas mereka mengepul di udara beku.
“Aku… aku tidak percaya,” ucap Susan, menatap sekeliling dengan mata terbelalak. Peter melangkah maju, meraih setangkai pohon pinus dan menyentuhnya, memastikan bahwa itu sungguhan. “Ini… benar-benar nyata.”
Lucy tersenyum lebar, wajahnya penuh kebanggaan. “Ayo, aku akan tunjukkan rumah Mr. Tumnus!” ajaknya bersemangat.
Mereka mulai berjalan mengikuti jejak kaki kecil Lucy di atas salju, menyusuri jalan setapak yang mengarah ke hutan yang lebih dalam. Sepanjang jalan, mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin sebuah dunia sebesar ini tersembunyi di balik pintu lemari.
Namun, ketika mereka sampai di rumah Mr. Tumnus, suasana berubah. Rumah kecil yang seharusnya hangat dan nyaman itu kini tampak hancur berantakan. Pintu depannya terbuka lebar, kursi dan meja berserakan, dan abu perapian sudah lama dingin.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Peter, matanya menyapu seluruh ruangan. Di dinding batu, sebuah catatan tertempel, ditulis dengan huruf besar dan kasar:
“DITANGKAP KARENA BERKHIANAT TERHADAP RATU NARNIA – JADIS, PENYIHIR PUTIH.”
Lucy memekik kecil, wajahnya pucat pasi. “Ini semua salahku… jika saja aku tidak ke sini, Mr. Tumnus tidak akan ditangkap.”
Susan memeluk Lucy, mencoba menenangkannya, sementara Peter menatap Edmund yang tampak gelisah. “Lihat apa yang sudah dilakukan White Witch,” ucap Peter penuh kemarahan.
Tetapi Edmund tidak mengatakan apa-apa. Dalam hatinya, ia tahu bahwa White Witch sudah mengetahui keberadaan mereka—dan sekarang, ia takut akan janji yang telah ia buat.
Di tengah kekacauan dan ketidakpastian itu, mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka tahu bahwa satu-satunya harapan untuk menyelamatkan Mr. Tumnus dan membebaskan Narnia adalah dengan menemukan sosok yang disebut oleh para penduduk Narnia sebagai Aslan, sang Singa Agung.
Maka dimulailah perjalanan mereka yang penuh bahaya, menuju perlawanan melawan kekuatan sihir yang telah membekukan Narnia dalam musim dingin abadi.