Petualangan Putri Se Ibu Jari Menjadi Permaisuri Peri, Alur Kisah Thumbelina Karya Hans Christian Andersen

Dahulu kala, di sebuah desa yang damai dan dikelilingi bunga-bunga indah, hiduplah seorang wanita tua yang sangat baik hati. Ia tinggal sendirian di rumah kecil yang bersih dan rapi. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya bersedih: ia tidak memiliki anak. Setiap malam ia berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang anak untuk menemaninya.

Suatu hari, ia mendengar kabar bahwa seorang penyihir baik hati tinggal di hutan dekat desa. Maka berangkatlah wanita tua itu menemuinya. Ia berkata dengan penuh harap,

“Wahai Nyonya, aku sangat ingin memiliki seorang anak, meskipun sekecil jari pun tak apa.”

Penyihir itu tersenyum lembut dan menjawab,

“Permintaanmu tulus, dan aku akan membantumu. Ambillah biji gandum ini. Tanamlah di pot bunga di rumahmu. Rawatlah dengan cinta.”

Wanita itu berterima kasih lalu pulang. Ia menanam biji itu di dalam pot bunga yang indah di jendela rumahnya. Tak lama kemudian, tumbuhlah bunga besar berwarna kuning seperti tulip, dengan kelopak lembut berkilau. Bunga itu begitu cantik hingga wanita itu menunduk dan menciumnya.

Begitu bibirnya menyentuh kelopak bunga, plop! Bunga itu mekar, dan di tengahnya duduk seorang gadis kecil yang mungil, tidak lebih besar dari jari telunjuk! Ia begitu cantik, berkulit halus, rambut keemasan, dan mengenakan pakaian dari kelopak bunga. Wanita tua itu kagum dan berseru bahagia,

“Wah, betapa mungilnya dia! Aku akan memanggilnya Thumbelina, karena tubuhnya sebesar ibu jari!”

Wanita tua itu sangat mencintainya. Ia membuat tempat tidur kecil dari cangkang kenari, dengan selimut dari kelopak mawar dan bantal dari serbuk sari bunga. Setiap hari Thumbelina bernyanyi dengan suara lembut seperti nyanyian burung kecil. Ia sangat gembira.

Diculik oleh Katak

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pada suatu malam ketika bulan bersinar terang, seekor katak besar melompat ke jendela. Katak itu melihat Thumbelina tidur di dalam cangkang kenari dan berkata dengan mata berkilat,

“Oh, betapa cantiknya gadis kecil ini! Ia akan jadi istri yang sempurna untuk anakku!”

Tanpa berpikir panjang, katak itu mengambil cangkang kenari berisi Thumbelina dan melompat ke rawa tempat ia tinggal. Thumbelina tertidur pulas, tak sadar bahwa ia sedang diculik.

Keesokan paginya, ketika ia terbangun, ia ketakutan. Ia berada di atas daun teratai besar di tengah kolam berlumpur. Katak tua dan anaknya datang menghampiri. Anak katak itu jelek dan malas, tetapi ibunya berkata,

“Ini calon istrimu, anakku. Kita akan membuat rumah di dasar rawa.”

Thumbelina menangis sedih. Ia tidak ingin hidup di rawa. Saat katak tua pergi untuk menyiapkan rumah, beberapa ikan kecil yang hidup di kolam mendengar isak tangis Thumbelina. Mereka merasa iba.

“Gadis sekecil itu tidak pantas menikah dengan katak jelek!” kata salah satu ikan.

Mereka pun menggigit batang daun teratai tempat Thumbelina duduk, hingga daun itu terlepas dan terbawa arus. Thumbelina mengapung menjauh, diselamatkan oleh ikan-ikan baik hati.

Bertemu Dengan Kumbang

Daun teratai itu mengapung perlahan di sungai yang jernih. Thumbelina duduk di atasnya, seperti seorang ratu kecil di atas perahu hijau. Ia memandangi bunga-bunga liar di tepi sungai dan burung-burung yang terbang sambil bernyanyi.

Seekor kupu-kupu yang indah hinggap di bahunya. Thumbelina mengikat pinggang kupu-kupu itu dengan benang rumput halus dan mengikat ujungnya ke daun teratai. Sekarang daun itu meluncur lebih cepat seperti perahu layar.

Namun, dari balik rumput muncul seekor kumbang besar yang merasa penasaran melihat makhluk kecil itu. Ia terbang cepat, mencengkeram Thumbelina, dan membawanya ke pohon tinggi. Kupu-kupu yang malang masih terikat dan akhirnya lepas lalu terbang pergi.

Kumbang itu menaruh Thumbelina di atas daun dan berkata,

“Lihatlah, teman-teman! Aku membawa gadis paling cantik di dunia!”

Namun kumbang-kumbang betina datang dan menatap sinis,

“Lihat rambutnya! Kakinya aneh! Tidak punya sayap! Tidak cantik seperti kita.”

Mendengar itu, kumbang jantan menjadi malu dan berkata kepada Thumbelina,

“Mungkin mereka benar… kamu tidak seperti kami. Pergilah.”

Thumbelina sedih sekali. Ia duduk sendirian di daun pohon sambil menatap langit. Tapi kemudian, ia turun ke tanah dan membuat rumah kecil dari daun dan rumput. Sepanjang musim panas ia hidup sendirian, memetik madu dari bunga dan minum embun pagi. Walau kecil, ia berani dan sabar.

Bertemu dengan Tikus Ladang

Ketika musim dingin tiba, salju mulai turun dan udara menjadi sangat dingin. Thumbelina kedinginan dan lapar. Ia berjalan gemetar di antara batang-batang gandum kering mencari tempat berlindung.

Akhirnya ia menemukan sebuah lubang kecil di tanah. Itu adalah rumah seekor tikus ladang tua yang baik hati. Tikus itu melihat Thumbelina dan berkata,

“Oh, kasihan sekali kamu, kecil dan kelaparan. Masuklah, hangat di sini.”

Tikus itu memberi Thumbelina makan gandum dan madu, lalu berkata,

“Kamu boleh tinggal bersamaku sepanjang musim dingin, tapi kamu harus rajin bercerita dan bernyanyi untukku.”

Thumbelina pun tinggal di sana, rajin membantu dan bernyanyi. Tikus ladang sangat menyukainya.

Suatu hari, tikus itu berkata,

“Ada tetanggaku yang kaya bernama Tuan Tikus Mondok. Ia sering datang ke sini. Siapa tahu ia ingin menikahimu!”

Thumbelina tidak ingin menikah dengan tikus, tapi ia tidak berani menolak.

Menolong Burung Layang-layang

Suatu hari, saat berjalan di lorong bawah tanah milik Tuan Tikus Mondok, Thumbelina menemukan seekor burung layang-layang yang tergeletak tak bergerak. Sayapnya patah dan tubuhnya dingin. Tikus ladang berkata,

“Burung itu mati, jangan ganggu!”

Tapi ketika Thumbelina menyentuhnya, ia merasa dada burung itu masih berdetak lemah. Dengan penuh kasih, Thumbelina merawatnya setiap malam. Ia menutupinya dengan daun dan kapas, memberinya air dengan sendok kecil, dan bernyanyi dengan suara lembut.

Hari demi hari, burung itu sembuh. Saat musim semi tiba, ia berkata,

“Terima kasih, Thumbelina. Aku berhutang nyawa padamu. Jika kamu ingin pergi dari sini, aku akan membawamu terbang.”

Namun Thumbelina menolak dengan lembut,

“Aku tidak bisa meninggalkan tikus ladang yang baik hati.”

Burung itu pun terbang pergi, sementara Thumbelina tinggal. Tapi hatinya sedih. Ia tahu, sebentar lagi Tuan Tikus Mondok akan memaksanya menikah.

Pelarian

Tuan Tikus Mondok yang kaya itu mengunjungi Thumbelina setiap hari. Ia kagum dengan kelembutan gadis kecil itu dan berkata,

“Kau akan menjadi istriku, dan kita akan hidup di terowongan bawah tanah yang hangat.”

Thumbelina takut. Ia tidak ingin hidup tanpa sinar matahari dan bunga. Tikus ladang mulai menyiapkan pernikahan. Thumbelina menangis di malam hari dan berdoa agar bisa bebas.

Ketika musim panas tiba dan hari pernikahan semakin dekat, Thumbelina keluar sebentar ke luar terowongan untuk mengucapkan selamat tinggal pada matahari. Di sana, ia mendengar suara lembut:

“Thumbelina! Thumbelina!”

Ternyata itu burung layang-layang yang pernah ia tolong!

“Aku akan membawamu pergi! Pegang erat buluku!”

Thumbelina tanpa ragu melompat ke punggung burung itu. Dengan kepakan sayap kuat, mereka terbang tinggi meninggalkan tanah yang dingin dan gelap.

Menuju Negeri Bunga

Burung layang-layang membawa Thumbelina melintasi hutan, gunung, dan danau. Mereka terbang jauh hingga tiba di negeri hangat penuh bunga berwarna-warni. Di sana, udara harum dan matahari bersinar lembut.

Burung itu menurunkan Thumbelina di atas bunga putih besar yang sedang mekar.

“Selamat tinggal, Thumbelina. Di sinilah tempatmu yang sejati,” katanya.

Thumbelina berdiri di tengah bunga, kagum melihat keindahan sekitarnya. Tapi betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang raja kecil bersayap transparan berdiri di tengah bunga! Ia sebesar dirinya, dengan mahkota emas kecil di kepala.

Raja kecil itu tersenyum dan berkata,

“Selamat datang, gadis mungil. Aku Raja Para Peri Bunga. Siapa kamu, dan bagaimana kamu bisa sampai di sini?”

Thumbelina pun menceritakan seluruh perjalanannya — dari lahir di bunga, diculik katak, berteman dengan ikan, ditinggalkan kumbang, hingga diselamatkan burung. Raja Peri mendengarkan dengan kagum.

“Betapa berani dan baik hatimu,” katanya lembut. “Kau pantas mendapat kebahagiaan sejati. Maukah kau menjadi ratuku?”

Thumbelina tersipu. Ia melihat sekeliling: bunga, kupu-kupu, dan burung bernyanyi gembira. Ia merasa seperti akhirnya menemukan rumahnya. Dengan senyum bahagia, ia menjawab,
“Ya, aku mau.”

Menjadi Ratu Para Peri

Raja Peri mengulurkan tangannya, dan tiba-tiba sepasang sayap indah tumbuh di punggung Thumbelina. Kini ia bisa terbang seperti peri lainnya. Semua bunga di taman mekar lebih indah, kupu-kupu menari, dan burung layang-layang bernyanyi riang.

Raja Peri menamai Thumbelina dengan nama baru: Maia, karena ia datang di musim semi yang penuh kehidupan.

Sejak hari itu, Thumbelina hidup bahagia di negeri bunga. Ia membantu burung, kupu-kupu, dan serangga kecil, selalu dengan hati lembut yang sama seperti dulu.

Burung layang-layang terbang kembali ke rumah wanita tua yang dulu menanam bunga pertama Thumbelina. Ia bernyanyi di jendela rumah itu, menceritakan kisah gadis mungil yang kini menjadi ratu di negeri bunga.

Dan wanita tua itu tersenyum bahagia, karena ia tahu, di suatu tempat yang jauh dan indah, anak kecil yang dulu ia sayangi kini hidup bahagia selamanya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *