Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa kecil di Jepang yang dikelilingi pegunungan dan sungai yang jernih, hiduplah sepasang suami istri yang sudah lanjut usia. Mereka hidup sederhana di sebuah rumah kayu kecil yang dikelilingi kebun sayur dan bunga. Setiap pagi, sang kakek pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar, sementara sang nenek pergi ke sungai untuk mencuci pakaian.
Mereka hidup bahagia, tetapi ada satu hal yang membuat hati mereka sering sedih: mereka tidak memiliki anak.
Setiap malam, nenek sering menatap langit sambil berdoa,
“Tuhan, berilah kami seorang anak, walau hanya satu, agar rumah ini tak sunyi.”
Doa itu ia ucapkan berulang kali selama bertahun-tahun. Namun, hingga rambut mereka memutih, mereka tetap belum dikaruniai seorang anak pun.
Kemunculan Buah Persik Raksasa di Sungai
Suatu hari, seperti biasa, sang nenek pergi ke sungai dengan membawa keranjang pakaian. Sungai itu sangat jernih dan indah, dengan air yang berkilau terkena sinar matahari pagi. Saat nenek sedang mencuci, tiba-tiba sesuatu yang besar dan bulat hanyut di sungai. Ia melihat benda itu perlahan mengambang mendekat.
“Eh? Apa itu?” gumam nenek sambil memperhatikan benda itu.
Ternyata benda itu adalah buah persik yang sangat besar! Warnanya merah muda segar, mengilap, dan ukurannya sebesar labu besar. Sang nenek sangat terkejut, belum pernah ia melihat buah persik sebesar itu seumur hidupnya.
“Wah! Buah persik sebesar ini pasti sangat manis! Aku akan membawanya pulang untuk dimakan bersama kakek,” katanya senang.
Dengan hati-hati ia mengambil buah persik besar itu dari sungai dan membawanya pulang. Ia berjalan perlahan karena buah itu berat, tapi wajahnya berseri-seri bahagia. Ia membayangkan betapa senangnya kakek nanti melihatnya.
Lahirnya Momotaro

Saat sang nenek tiba di rumah, kakek pun baru pulang dari hutan dengan seikat kayu di pundaknya.
“Kakek! Lihat apa yang aku temukan di sungai!”
“Wah, persik sebesar itu! Belum pernah aku melihat yang seperti ini!” kata sang kakek dengan mata membulat.
Mereka lalu meletakkan buah persik itu di meja dan memutuskan untuk memakannya bersama. Sang nenek mengambil pisau dan berkata,
“Baiklah, mari kita belah sekarang!”
Namun, begitu pisau menyentuh kulit buah persik itu, tiba-tiba buah itu bergetar, lalu terbelah dengan sendirinya. Dari dalamnya keluar seorang bayi laki-laki mungil yang tersenyum ceria!
Sang kakek dan nenek terkejut luar biasa. Mereka berdua terpaku, tidak percaya pada apa yang mereka lihat.
“A… anak manusia?”
“Iya! Dari dalam buah persik!”
Bayi itu membuka matanya, tertawa kecil, lalu berkata dengan suara lembut,
“Aku dikirim dari Surga untuk menjadi anak kalian.”
Mendengar itu, kakek dan nenek meneteskan air mata bahagia. Mereka merasa doa mereka selama ini akhirnya dikabulkan oleh Tuhan.
Karena bayi itu lahir dari buah persik — dalam bahasa Jepang disebut “momo” — maka mereka menamainya Momotarō, yang berarti “Anak Persik”.
Hari demi hari berlalu, Momotarō tumbuh menjadi anak yang kuat, baik hati, dan penuh semangat. Ia suka membantu orang tuanya bekerja. Ia rajin menimba air, mengangkat kayu, dan membersihkan rumah.
Selain kuat, Momotarō juga cerdas dan sopan. Ia selalu menyapa orang-orang di desa dengan ramah. Semua orang menyukainya.
“Anak itu benar-benar luar biasa,” kata para tetangga.
“Ia tumbuh begitu cepat dan selalu menolong siapa pun!”
Kakek dan nenek sangat bangga padanya. Mereka sering berkata,
“Kami memang tidak melahirkannya, tapi dia benar-benar seperti darah daging kami sendiri.”
Pulau Para Oni (Raksasa)
Suatu hari, ketika Momotarō sudah beranjak remaja, kabar buruk menyebar di seluruh desa. Dikisahkan bahwa para Oni, makhluk jahat berbentuk raksasa dengan kulit berwarna merah dan biru, sering datang dari Pulau Onigashima — “Pulau Para Iblis”.
Mereka menyerang desa-desa, mencuri makanan, emas, dan bahkan hewan ternak. Banyak orang takut keluar rumah.
Suatu malam, Momotarō mendengar para tetua desa membicarakan hal itu.
“Kita tak bisa berbuat apa-apa,” kata salah satu warga dengan suara gemetar.
“Pulau Oni jauh dan berbahaya. Tidak ada yang bisa melawan mereka.”
Mendengar itu, Momotarō menatap ke arah api unggun dengan wajah tegas. Dalam hatinya, ia berpikir,
“Aku tidak bisa diam saja. Mereka telah membuat banyak orang menderita. Aku harus pergi ke Pulau Onigashima dan mengalahkan para Oni!”
Petualangan Momotarō Dimulai
Keesokan paginya, Momotarō memberi tahu kakek dan nenek tentang niatnya.
“Kakek, Nenek, aku ingin pergi ke Pulau Onigashima untuk melawan para Oni dan mengambil kembali harta milik orang-orang desa!”
Kakek dan nenek terkejut sekaligus khawatir.
“Tapi, Momotarō… itu sangat berbahaya! Oni adalah makhluk kuat dan kejam!”
“Aku tahu, Nenek. Tapi seseorang harus melakukannya. Jika bukan aku, siapa lagi?” jawab Momotarō dengan mata mantap.
Melihat tekad cucu mereka, akhirnya sang kakek dan nenek pun mengizinkan dengan berat hati. Mereka lalu menyiapkan bekal untuk perjalanan. Nenek membuatkan kue dango, yaitu bola-bola nasi manis yang lezat, dan memasukkannya ke dalam kantong kecil.
“Bawalah kue dango ini. Ini buatan nenek, bisa memberi kekuatan di perjalanan,” katanya sambil tersenyum haru.
“Terima kasih, Nenek. Aku akan kembali membawa kemenangan!” jawab Momotarō sambil membungkuk hormat.
Pagi yang cerah pun tiba. Momotarō mengenakan pakaian perang sederhana dari kain tebal, membawa pedang, dan mengikatkan kantong berisi kue dango di pinggangnya. Ia melangkah meninggalkan desa sambil melambaikan tangan.
“Hati-hati di jalan, Momotarō!” teriak para tetangga.
“Kembalilah dengan selamat!”
Momotarō berjalan melewati ladang, hutan, dan bukit. Perjalanannya jauh, tapi ia tidak mengeluh sedikit pun. Di sepanjang jalan, ia bertemu beberapa hewan yang kemudian menjadi sahabat setianya.
Bertemu Dengan Para Sahabat
Saat berjalan di tengah hutan, Momotarō melihat seekor anjing putih yang tampak lapar. Anjing itu menatapnya sambil menggonggong pelan.
“Siapa kamu, anak muda?” tanya anjing itu dengan suara serak.
“Aku Momotarō. Aku sedang menuju Pulau Onigashima untuk melawan para Oni,” jawabnya.
Anjing itu mengendus kantong kecil di pinggang Momotarō.
“Apa yang kau bawa di sana? Baunya enak sekali!”
“Ini kue dango buatan nenekku. Mau satu?” tanya Momotarō sambil tersenyum.
Anjing itu menerima satu kue dango dan memakannya dengan lahap.
“Lezat sekali! Terima kasih. Sebagai balasannya, izinkan aku ikut bersamamu. Aku akan membantu melawan Oni!”
“Tentu saja! Aku senang punya teman seperti kamu,” jawab Momotarō.
Mereka pun berjalan bersama.
Tak lama kemudian, mereka melewati tebing berbatu. Dari atas tebing, seekor monyet cokelat melompat turun dengan lincah.
“Hai, siapa kalian?” tanya si monyet sambil menggaruk kepala.
“Aku Momotarō, dan ini temanku, Anjing. Kami sedang menuju Pulau Onigashima.”
Monyet itu mengendus bau dari kantong di pinggang Momotarō.
“Hmm, baunya enak sekali. Apa itu kue dango?”
“Betul! Mau mencoba satu?”
“Tentu!” kata monyet itu senang.
Setelah makan satu kue dango, monyet berkata,
“Kue ini luar biasa! Aku akan ikut denganmu. Aku bisa memanjat tembok dan mencari jalan masuk ke benteng Oni.”
“Baiklah, semakin banyak teman, semakin kuat kita!” kata Momotarō.
Kini mereka bertiga berjalan bersama: Momotarō, Anjing, dan Monyet.
Saat mereka hampir sampai di pantai, seekor burung pegar berwarna biru terbang turun dan hinggap di pundak Momotarō.
“Kalian tampak seperti sedang berpetualang. Ke mana tujuan kalian?” tanya burung itu.
“Kami hendak melawan para Oni di Pulau Onigashima,” jawab Momotarō.
Burung pegar itu menatap mereka dengan kagum.
“Aku sering melihat para Oni terbang di atas laut. Mereka memang jahat. Aku ingin membantu kalian dari udara!”
“Bagus sekali!” kata Momotarō. “Denganmu, kita bisa menyerang dari darat dan udara!”
Burung pegar itu kemudian juga diberi sepotong kue dango, dan ia langsung terbang berputar-putar dengan semangat.
Kini rombongan Momotarō lengkap: Momotarō, Anjing, Monyet, dan Burung Pegar.
Bertempur di Pulau Onigashima

Mereka bersama-sama naik ke sebuah perahu kecil dan berlayar menuju Pulau Onigashima. Ombak tinggi dan angin kencang berusaha menggoyang perahu mereka, tapi mereka tetap bertahan. Momotarō memegang dayung dengan kuat, sementara burung pegar terbang di atas mereka untuk memantau arah.
Setelah berhari-hari di laut, akhirnya mereka melihat pulau itu dari kejauhan. Pulau Onigashima tampak gelap dan menyeramkan, dikelilingi batu-batu tajam. Dari kejauhan, terlihat benteng besar dari batu tempat para Oni tinggal. Asap hitam mengepul dari puncaknya.
“Itulah tempatnya!” kata Momotarō tegas.
“Ayo, teman-teman, bersiaplah!”
Sesampainya di pantai, mereka mendengar suara tawa keras para Oni dari dalam benteng. Pagar besi tinggi mengelilingi tempat itu. Monyet segera memanjat tembok dengan lincah, lalu membuka gerbang dari dalam.
Anjing dan Momotarō masuk dengan cepat, sementara burung pegar terbang menukik menyerang para Oni dari udara.
Pertempuran pun dimulai!
Momotarō berlari sambil mengayunkan pedangnya dengan cepat.
“Serang mereka, teman-teman!”
Anjing menggigit kaki Oni merah besar, monyet melempar batu ke arah Oni biru, dan burung pegar mencakar wajah mereka dari atas.
Para Oni terkejut. Mereka tidak menyangka ada manusia yang berani datang menyerang markas mereka. Beberapa Oni mencoba melawan dengan gada besar, tetapi Momotarō dan teman-temannya bergerak lebih cepat.
Dengan keberanian luar biasa dan kerja sama yang hebat, satu demi satu Oni pun tumbang.
Raja Terakhir
Akhirnya, Momotarō dan teman-temannya sampai di aula utama benteng. Di sana duduk Raja Oni, makhluk besar bertanduk dua, mengenakan jubah merah tua. Ia bangkit dengan marah.
“Berani sekali kau datang ke sini, anak manusia!”
“Aku datang untuk mengambil kembali harta yang kalian curi dari orang-orang desa!” teriak Momotarō.
Raja Oni mengangkat gada besinya dan menyerang. Tapi Momotarō melompat ke samping, menangkis dengan pedangnya, dan membalas dengan pukulan kuat.
Pertarungan sengit pun terjadi. Anjing menggigit kaki Raja Oni, Monyet memanjat ke bahunya dan menutup matanya, sementara burung pegar mematuk wajahnya. Momotarō menggunakan kesempatan itu untuk mengarahkan pedangnya ke gada Oni dan memotongnya menjadi dua.
Raja Oni berteriak kesakitan, lalu berlutut.
“Cukup! Aku menyerah!” katanya memohon.
“Jika kau berjanji takkan mencuri lagi dan mengembalikan semua harta, aku akan memaafkanmu,” kata Momotarō dengan tegas.
Raja Oni mengangguk ketakutan.
“Aku berjanji! Aku takkan jahat lagi!”
Para Oni lainnya pun ikut menyerah. Mereka menunduk di depan Momotarō dan teman-temannya. Lalu, mereka menyerahkan semua harta benda hasil rampasan: emas, perhiasan, dan makanan berharga.
Momotarō memasukkan semuanya ke dalam peti besar untuk dibawa pulang. Ia memandangi teman-temannya dengan bangga.
“Kita berhasil, teman-teman! Berkat kerja sama kita!”
“Woof! Woof! Tentu saja!” sahut si Anjing dengan gembira.
“Hehe, aku lapar lagi. Masih ada kue dango?” canda si Monyet.
“Kalian hebat!” kata burung pegar sambil mengepakkan sayapnya.
Dengan hati penuh kegembiraan, mereka berlayar kembali ke desa.
Pulang ke Desa
Beberapa hari kemudian, Momotarō dan ketiga sahabatnya tiba di tepi sungai dekat desa. Orang-orang berlari menyambut mereka.
“Momotarō telah kembali!”
“Lihat! Mereka membawa harta kita!”
Kakek dan nenek berlari paling depan. Air mata mereka mengalir saat melihat Momotarō turun dari perahu dengan selamat.
“Momotarō, kau benar-benar luar biasa!”
“Aku sudah pulang, Kakek, Nenek,” jawabnya sambil memeluk mereka.
Momotarō membagikan semua harta rampasan kepada penduduk desa yang telah kehilangan barang-barang mereka. Tidak ada satu pun yang ia simpan untuk dirinya sendiri.
Desa pun kembali makmur dan damai. Para Oni tidak pernah berani mengganggu lagi, karena mereka tahu ada seorang pahlawan bernama Momotarō yang berani melindungi rakyat.
Sejak saat itu, Momotarō dan teman-temannya menjadi legenda. Mereka hidup bahagia di desa, saling membantu dan menjaga perdamaian. Kakek dan nenek semakin bangga dan bersyukur setiap hari.
“Kami dulu hanya dua orang tua kesepian,” kata nenek sambil tersenyum.
“Tapi kini, berkat buah persik ajaib itu, kami punya anak yang membuat seluruh negeri bangga,” tambah kakek.
Momotarō sering mengajarkan anak-anak di desa untuk berani, jujur, dan menolong sesama. Ia berkata,
“Kekuatan sejati bukan hanya di otot, tapi di hati yang ingin melindungi orang lain.”
