Berikut ini adalah kisah lanjutan dari Pengembara Kedua, yaitu “Kisah Si Pendengki dan yang Didengki” (Tale of the Envier and the Envied) yang diceritakan oleh Pengembara Kedua sebagai bagian dari pengalaman hidupnya.
Dua Saudara dari Keluarga Terhormat
Dahulu kala, di sebuah kota besar di Timur, hiduplah dua saudara laki-laki dari keluarga terhormat. Ayah mereka adalah seorang saudagar sukses yang bijak dan dermawan. Sang ayah membagi warisan secara adil ketika ia meninggal—sebagian besar harta warisan diberikan kepada anak sulung, karena dialah yang selama ini membantu mengurus usaha ayahnya, sedangkan sang adik mendapat rumah dan sebagian uang.
Kakak sulung, yang berjiwa besar, menggunakan hartanya untuk berdagang dan memperluas usaha. Ia jujur, pandai bergaul, dan disukai semua orang. Pelanggannya banyak, keuntungannya meningkat pesat, dan tak pernah sekalipun ia menolak membantu orang miskin.
Adiknya, sebaliknya, memiliki hati yang gelap. Ia bermalas-malasan, suka berjudi, dan sering mabuk-mabukan. Dalam waktu singkat, warisan yang ia dapat habis begitu saja. Alih-alih belajar dari kakaknya, ia malah mulai merasa iri dan dengki. Ia berkata dalam hatinya:
“Kakakku bukan lebih pintar dariku. Dia hanya lebih beruntung. Mengapa semua orang menyukai dia dan bukan aku?”
Rasa iri itu terus tumbuh. Hingga akhirnya berubah menjadi niat jahat.
Rencana Busuk Sang Pendengki
Satu malam, sang adik datang ke rumah kakaknya dengan membawa senyuman palsu. Ia berkata bahwa ia ingin berubah, ingin belajar berdagang dan hidup terhormat seperti kakaknya. Kakaknya yang polos dan berhati mulia menyambutnya dengan hangat.
“Kau adalah saudaraku. Rumah ini selalu terbuka untukmu.”
Ia pun mengajak adiknya ikut berlayar ke negeri seberang dalam perjalanan dagang. Kakaknya berharap ini akan menjadi awal perubahan baik. Tapi diam-diam, sang adik memiliki rencana jahat.
Saat mereka berlayar, dan malam tiba ketika kapal berlabuh di sebuah pulau terpencil untuk beristirahat, sang adik menunggu hingga kakaknya tertidur, lalu menyeret tubuh kakaknya ke bibir tebing dan mendorongnya jatuh ke laut.
Ia yakin kakaknya akan mati tenggelam. Ia lalu kembali ke kapal dan berbohong kepada awak kapal bahwa kakaknya pergi sendirian dan belum kembali, agar mereka berlayar tanpa mencarinya.
“Akhirnya, dunia ini milikku. Kekayaan dan nama baiknya akan menjadi milikku,” pikirnya.
Nasib Baik Si yang Didengki
Namun takdir berkata lain. Kakaknya tidak mati. Ia terbentur batu karang dan pingsan, tetapi ombak justru membawanya ke pantai yang lain. Di sana, ia ditemukan oleh seorang petapa yang tinggal di hutan.
Petapa itu mengobatinya, memberinya makanan dan tempat tinggal. Dalam beberapa bulan, kakaknya pulih dan mulai hidup baru. Ia membantu petapa, menanam buah, dan belajar ilmu kebijaksanaan.
Petapa itu berkata, “Orang jahat akan jatuh ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Orang sabar akan menerima berkah pada waktunya.”
Setelah setahun tinggal bersama petapa, ia merasa cukup kuat dan memutuskan kembali ke kota untuk mengetahui apa yang terjadi.
Kebenaran yang Terungkap
Ketika ia kembali ke kotanya, ia melihat kejadian yang tak disangka: sang adik telah mengambil alih usahanya, mengaku sebagai dirinya, dan kini dihormati oleh masyarakat sebagai saudagar besar.
Namun ketamakan tak mengenal batas. Sang adik ingin menikahi putri seorang bangsawan kaya dan mengaku dirinya sebagai pedagang utama dari kerajaan lain. Tapi, saat pesta pernikahan hendak diadakan, muncullah kakaknya yang asli, berdiri dengan wajah tenang di hadapan para tamu.
Orang-orang terkejut. Para tetua dan pejabat tinggi segera mengenal wajahnya. Ia menceritakan semuanya dengan tenang, tanpa dendam. Banyak saksi dari masa lalu yang membenarkan kisahnya.
Sang adik pun gemetar ketakutan. Ia mencoba mengelak, namun air mukanya, sikapnya, dan kebohongannya tak bisa lagi ditutup-tutupi.
Akhirnya, ia dibuang dari kota oleh penguasa karena pengkhianatannya terhadap saudaranya sendiri.
Ending Cerita
Setelah kejadian itu, kakaknya tidak membalas dendam. Ia malah mendoakan adiknya agar suatu hari bisa menyadari kesalahannya. Ia kembali berdagang dengan jujur dan hidup dalam kebahagiaan sejati.
Ia berkata di hadapan rakyat yang berkumpul:
“Lihatlah apa akibat dari rasa dengki. Dengki membakar hati dan menutup pintu rezeki. Sebaliknya, kesabaran dan ketulusan akan selalu membawa kita pulang ke rumah keberkahan.”
Penutup
Selesai menyampaikan kisah ini, Pengembara Kedua menatap ke bawah, wajahnya sayu.
“Tuan-tuan dan nyonya sekalian, kisah ini aku bawa ke mana pun aku mengembara. Karena dahulu, aku pun pernah menjadi yang didengki. Bukan karena aku lebih hebat, tapi karena aku tak ikut dalam keburukan. Kini, aku tak punya apa-apa… selain kisah.”
Para hadirin pun terdiam. Sang nyonya rumah, perempuan tertua, berkata:
“Kau telah berbagi kebijaksanaan melalui derita. Istirahatlah malam ini, wahai tamu.”
[…] Pengembara kedua, Seorang Anak Pedagang Kaya yang Dikutuk Jadi kera. Dia pun juga menceritakan salah satu kisah yang menarik tentang “Pendengki dan yang Didengki” […]