Banjir kembali melanda sejumlah wilayah di Jabodetabek, termasuk Bekasi, Jakarta, dan Tangerang Selatan. Peristiwa ini menimbulkan keresahan dan kekesalan di kalangan warga, yang merasa bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah banjir yang terjadi hampir setiap tahun.
Kisah Warga yang Terkena Dampak
Seorang warga Bekasi Selatan, Happy, menceritakan pengalaman traumatisnya saat mengevakuasi anaknya yang masih bayi akibat banjir. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih tanggap terhadap peringatan yang telah diberikan oleh komunitas setempat. Namun, pada kenyataannya, tidak ada respons cepat dan signifikan dari pihak berwenang.
“Setiap tahun banjir datang, dan kami harus berjuang sendiri. Saat air mulai naik, kami sudah memperingatkan agar ada tindakan cepat, tetapi pemerintah hanya diam,” ujar Happy dengan nada kesal pada tanggal 5 Maret 2025.
Kerugian yang Dialami Warga
Banjir kali ini menyebabkan kerugian finansial yang cukup besar bagi warga. Banyak rumah, kendaraan, dan barang berharga yang rusak akibat tingginya genangan air. Beberapa warga memperkirakan kerugian mereka mencapai Rp50 juta hingga Rp100 juta.
“Mobil saya rusak parah, perabotan rumah juga banyak yang terendam. Kami harus mengeluarkan biaya besar untuk perbaikan dan belum ada bantuan yang datang,” kata seorang warga lainnya.
Penyebab Banjir yang Terus Berulang
Menurut para ahli dan komunitas setempat, penyebab utama banjir adalah perubahan tata guna lahan di hulu sungai serta tingginya intensitas hujan di daerah penyangga. Selain itu, faktor pendangkalan dan penyempitan sungai, serta pelanggaran garis sempadan sungai, semakin memperparah situasi.
“Banyak lahan resapan yang berubah menjadi kawasan industri dan perumahan. Sungai yang seharusnya menjadi jalur air malah semakin sempit karena pembangunan,” ujar seorang aktivis lingkungan.
Janji Pemerintah yang Tak Kunjung Direalisasikan
Warga merasa pemerintah tidak menepati janji-janji yang sebelumnya diberikan. Berbagai rencana seperti peninggian tanggul dan pengerukan sungai sering kali hanya berujung pada survei tanpa ada tindakan nyata. Hal ini membuat warga semakin kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
“Kami sudah berkali-kali mendengar janji bahwa banjir akan diatasi, tetapi sampai sekarang tidak ada perubahan. Setiap tahun kondisinya malah semakin parah,” tambah seorang warga Bekasi.
Usulan Solusi dari Komunitas
Beberapa komunitas warga telah mengajukan solusi untuk mengatasi banjir, salah satunya adalah normalisasi sungai. Mereka bahkan telah mengajukan petisi kepada pemerintah untuk segera merealisasikan rencana ini.
“Kami tidak hanya mengeluh, tetapi juga mengusulkan solusi. Normalisasi sungai bisa menjadi cara efektif untuk mengurangi risiko banjir, tetapi pemerintah harus benar-benar mau bertindak,” ujar seorang perwakilan komunitas.
Banjir dalam Perspektif Sejarah
Banjir di wilayah Jakarta dan Bekasi bukanlah fenomena baru. Sejak abad ke-5, wilayah ini telah mengalami banjir, dan berbagai upaya rekayasa air telah dilakukan sejak zaman Kerajaan Tarumanegara hingga masa kemerdekaan. Sayangnya, seiring dengan perkembangan kota yang pesat, banyak langkah mitigasi yang tidak lagi dijalankan dengan baik.
Tanggapan Pemerintah
Pejabat pemerintah menegaskan bahwa faktor cuaca adalah salah satu penyebab utama banjir. Mereka mengklaim telah melakukan beberapa langkah mitigasi seperti penghijauan kembali dan modifikasi cuaca. Namun, warga tetap merasa bahwa tindakan nyata di lapangan masih kurang.
“Kami memahami keresahan warga dan terus berupaya mengatasi masalah ini dengan berbagai cara, termasuk penanaman pohon dan upaya pengendalian curah hujan,” ujar seorang pejabat terkait.
Meski demikian, warga berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah konkret dan berkelanjutan agar masalah banjir tidak terus berulang setiap tahun. Mereka mendesak agar janji-janji yang sudah diberikan tidak hanya sebatas wacana, tetapi benar-benar diwujudkan dalam aksi nyata.
Referensi: BBC Indonesia