Kisah Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Kala Indonesia Masih Rapuh

Pasca kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bangsa ini masih belum benar-benar bebas. Belanda, yang belum rela kehilangan tanah jajahannya, kembali mencoba menguasai Indonesia. Terjadilah agresi militer dan perundingan panjang yang berakhir dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Dalam kesepakatan itu, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun dalam bentuk negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS terdiri dari beberapa negara bagian, salah satunya Negara Indonesia Timur (NIT) yang mencakup wilayah Maluku. Namun, tak lama kemudian, pemerintah pusat di Jakarta mengambil langkah untuk membubarkan sistem federal dan kembali ke bentuk negara kesatuan yang disebut NKRI. Bagi banyak wilayah yang semula punya otonomi seperti NIT, ini dianggap sebagai ancaman.

Dari titik itulah, benih-benih pemberontakan mulai tumbuh di Maluku.

Proklamasi Republik Maluku Selatan

Pada 25 April 1950, sebuah peristiwa mengejutkan terjadi di Ambon. Tokoh bernama J.H. Manuhutu secara sepihak memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), sebuah negara baru yang hendak memisahkan diri dari Indonesia. Dalam waktu singkat, Christian Robert Steven Soumokil, mantan Jaksa Agung NIT, menggantikan Manuhutu sebagai presiden RMS.

Tujuan utama RMS adalah sederhana tapi tegas: membentuk negara merdeka yang terpisah dari Indonesia. Wilayahnya mencakup Pulau Ambon, Seram, dan Buru. Gerakan ini bukan hanya persoalan bentuk negara, tetapi juga menyimpan rasa kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap memusatkan pembangunan di Jawa dan Sumatera.

Soumokil dan pendukungnya—terutama mantan tentara kolonial Belanda (KNIL)—merasa dikhianati. Mereka menolak hidup di bawah NKRI dan mengklaim bahwa rakyat Maluku akan dijajah oleh “orang Jawa”. Narasi ini menyebar luas di kalangan masyarakat Maluku, baik di dalam negeri maupun di Belanda.

Para Tokoh di Balik Gejolak

Di balik gerakan RMS, berdiri tokoh-tokoh penting yang memainkan peran sentral:

  • Dr. Soumokil, presiden RMS, otak di balik gerakan separatis ini.
  • Ir. Manusama, tokoh yang menyebarkan narasi anti-pemerintah dan kelak memimpin RMS dalam pengasingan di Belanda.
  • J.H. Manuhutu, pemroklamator RMS yang kemudian ditangkap.
  • D.J. Samson, panglima tertinggi pasukan RMS.
  • Dr. J.P. Nikijuluw, utusan RMS untuk luar negeri, berbasis di Belanda.

Sementara dari pihak pemerintah Indonesia, ada:

  • Dr. Johannes Leimena, yang diutus untuk berdiplomasi secara damai dengan RMS.
  • Kolonel A.E. Kawilarang, pemimpin operasi militer untuk menumpas RMS.
  • Letkol Slamet Riyadi, pahlawan muda yang gugur dalam pertempuran merebut Benteng Nieuw Victoria di Ambon.

Dari Damai Menuju Perang

Pemerintah Indonesia awalnya tidak ingin menggunakan kekerasan. Mereka mengirim Dr. Leimena ke Ambon untuk berdialog. Namun, Soumokil menolak ajakan damai, dan bahkan hanya mau berunding jika PBB ikut campur.

Karena diplomasi gagal, pada Juli 1950 pemerintah mengumumkan blokade total terhadap Maluku Selatan—darat, laut, dan udara. Segera setelah itu, diluncurkan operasi militer besar-besaran bernama KOMPAS MALSEL, dipimpin oleh Kolonel Kawilarang dan Letkol Slamet Riyadi.

Beberapa operasi besar dalam upaya penumpasan ini adalah:

  • Operasi Malam di Pulau Buru.
  • Operasi Fajar di Pulau Seram.
  • Serangan Umum Senopati di Pulau Ambon.
  • Operasi Masohi, pengejaran panjang terhadap sisa-sisa pasukan RMS.

Puncaknya adalah keberhasilan merebut kota Ambon secara penuh pada November 1950, meski Letkol Slamet Riyadi gugur dalam pertempuran.

Namun meski markasnya runtuh, RMS tidak benar-benar mati.

RMS yang Tak Pernah Sepenuhnya Padam

Setelah kalah secara militer, Soumokil kabur dan bersembunyi di Pulau Seram. Selama lebih dari satu dekade, ia hidup dalam pelarian sebelum akhirnya tertangkap pada 1963 dan dieksekusi mati pada 1966.

Di sisi lain, sekitar 15.000 orang pendukung RMS melarikan diri ke Belanda. Di sana, mereka membentuk pemerintahan dalam pengasingan yang hingga kini masih eksis. Meski tidak lagi menuntut kemerdekaan secara aktif, kelompok ini tetap menyuarakan identitas dan hak-hak masyarakat Maluku yang hidup di Eropa.

Dampak Peristiwa

Pemberontakan RMS meninggalkan luka yang dalam, tidak hanya bagi negara, tapi juga bagi masyarakat Maluku sendiri. Dampaknya meliputi:

  • Korban Jiwa dari kedua belah pihak.
  • Ketegangan sosial dan politik di Maluku, termasuk antar sesama warga.
  • Stigma yang terus menempel pada warga Maluku, terutama mereka yang tinggal di luar daerah atau hendak menjalin hubungan kerja sama internasional.
  • Rasa takut dan trauma, yang membuat sebagian masyarakat Maluku enggan bersuara atau menyuarakan aspirasinya karena khawatir dianggap simpatisan RMS.
  • Diskriminasi hukum, di mana pasal-pasal makar kerap digunakan untuk membungkam ekspresi budaya yang dianggap berbau separatisme.

Pelajaran yang Bisa Diambil

Pemberontakan RMS adalah pengingat pahit bahwa kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari ujian sebagai bangsa.

Beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik adalah:

  1. Persatuan nasional itu mahal harganya. Tidak cukup hanya mengumumkan kemerdekaan; butuh usaha keras untuk merawat rasa memiliki dari seluruh rakyat, dari Aceh sampai Papua, dari Sabang sampai Merauke.
  2. Pemerataan pembangunan adalah keharusan. Ketika satu daerah merasa dianaktirikan, rasa kecewa bisa menjelma menjadi gerakan perlawanan.
  3. Menang perang belum tentu menang hati. Walaupun RMS sudah ditumpas, tetapi luka batin dan perasaan tidak diakui masih membekas hingga kini. Ini menegaskan pentingnya rekonsiliasi pasca-konflik.
  4. Stigma harus dihapus, bukan dipelihara. Masyarakat Maluku tak boleh selamanya dikaitkan dengan RMS. Mereka adalah warga Indonesia yang punya hak dan martabat sama.
  5. Sejarah harus diajarkan secara adil dan jujur. Generasi muda perlu tahu bahwa sejarah kita bukan hanya tentang kemenangan, tapi juga tentang luka, harapan, dan proses panjang untuk menjadi bangsa yang dewasa.

Harapan untuk Masa Depan

Kini, lebih dari tujuh dekade setelah proklamasi RMS, dunia telah berubah. Indonesia juga telah banyak belajar. Namun, kisah ini mengingatkan kita bahwa proses membangun bangsa bukanlah sprint, melainkan maraton.

Jika kita ingin Indonesia yang kuat, kita harus mulai dari yang sederhana: mendengar dengan tulus, membangun dengan adil, dan menyembuhkan luka dengan kasih.

Mungkin RMS tak akan kembali dalam bentuk negara, tapi semangat untuk dihargai dan diakui akan terus hidup. Dan tugas kita sebagai bangsa adalah memastikan bahwa tidak ada lagi anak daerah yang merasa lebih rendah hanya karena sejarah yang tak mereka pilih.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *