Pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid, Baghdad adalah kota gemilang. Sungainya bersinar di bawah cahaya bulan, pasar-pasarnya ramai oleh pedagang dari segala negeri, dan istananya berdiri megah di tepi Sungai Tigris. Namun di balik gemerlap itu, kadang tersimpan kisah yang getir — salah satunya adalah kisah tiga apel.
Penemuan Sebuah Peti Misterius
Suatu sore, Ja’far bin Yahya, wazir kebanggaan khalifah, sedang berjalan di tepi sungai bersama dua pengawalnya. Ia mendapati seorang nelayan tua yang sedang berjuang menarik jaringnya. Ketika jaring itu terangkat, bukan ikan yang keluar, melainkan sebuah peti besar dari kayu yang terkunci rapat.
Nelayan itu memandangi peti itu dengan mata berbinar. Ia berkata,
“Wahai Tuan Wazir, rezeki hari ini tampaknya datang bukan dari laut, melainkan dari langit!”
Ja’far tertarik. Ia memerintahkan pengawalnya untuk membawa peti itu ke istana. Setibanya di hadapan Khalifah Harun al-Rasyid, peti itu dibuka di hadapan semua orang. Betapa terkejut mereka ketika di dalamnya terdapat mayat seorang wanita muda yang sangat cantik, terpotong menjadi beberapa bagian dan dibungkus dengan kain sutra.
Wajah khalifah berubah muram.
“Wahai Ja’far,” katanya dingin, “keadilan di negeriku tidak boleh ternoda oleh pembunuhan seperti ini. Aku beri engkau waktu tiga hari untuk menemukan pelakunya. Jika tidak, nyawamu akan menggantikan nyawa wanita ini.”
Ja’far berlutut, pucat pasi. Tapi ia tak berani menolak perintah itu.
Beban Tugas yang Mustahil
Tiga hari berlalu cepat. Ja’far memeriksa pasar, rumah sakit, rumah pelacuran, rumah-rumah bangsawan — tetapi tidak ada yang tahu siapa wanita itu. Ia tak menemukan petunjuk apa pun.
Pada malam ketiga, ia duduk di rumahnya bersama anak-anaknya, penuh keputusasaan.
“Anak-anakku,” katanya, “besok ayah akan dihukum mati oleh khalifah karena gagal menjalankan perintah.”
Kedua anaknya menangis. Anak tertua berusaha menghibur ayahnya, sementara anak bungsu — yang polos — berkata dengan jujur:
“Ayah, jika khalifah ingin tahu siapa yang membunuh wanita itu, mengapa tidak ayah saja bilang bahwa ayah yang melakukannya? Dengan begitu ayah bisa segera menyenangkan hati khalifah dan menghentikan pencarian.”
Ja’far hanya tersenyum getir. Ia tidak menyangka ucapan polos itu akan menjadi awal dari pengungkapan besar.
Pengakuan Tak Terduga
Keesokan harinya, Ja’far dibawa ke hadapan khalifah untuk dieksekusi. Harun al-Rasyid berdiri di balkon istana, wajahnya tegas, dan algojo sudah menyiapkan pedang.
Tiba-tiba, seorang pria berlari masuk ke halaman istana sambil berteriak,
“Tunggu! Jangan hukum wazir yang tak bersalah! Akulah pembunuh wanita dalam peti itu!”
Khalifah memerintahkan agar pria itu dibawa ke hadapannya. Pria itu tampak berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian sederhana, namun matanya penuh penyesalan. Ia memperkenalkan diri sebagai pengrajin muda bernama Nureddin Hasan, anak dari pedagang ternama Baghdad yang telah wafat.
Khalifah menatapnya tajam.
“Kau mengaku membunuh wanita itu?”
“Benar, Amirul Mukminin,” jawabnya. “Dan wanita itu adalah istriku sendiri.”
Awal dari Cinta dan Keindahan
Khalifah terkejut.
“Ceritakan semuanya. Jika ceritamu benar, aku akan menimbang hukumanmu dengan keadilan.”
Maka Nureddin Hasan pun mulai bercerita:
“Wahai Amirul Mukminin, aku menikah dengan seorang wanita dari keluarga terhormat. Ia lembut, cantik, dan berbakti. Kami hidup bahagia dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang cerdas.
Suatu hari, istriku jatuh sakit. Aku memanggil tabib-tabib terbaik, tapi mereka berkata bahwa ia menderita penyakit langka yang hanya bisa disembuhkan dengan buah dari negeri Maghribi—tiga apel istimewa.”
Mendengar itu, khalifah mengangguk. Ia pernah mendengar tentang apel langka dari Maghrib yang hanya tumbuh di taman raja-raja.
“Demi kesembuhan istriku,” lanjut Nureddin, “aku berlayar selama berbulan-bulan menuju negeri Maghribi. Aku melewati badai dan rampok laut, hingga akhirnya berhasil mendapatkan tiga apel itu dari taman kerajaan dengan harga yang mahal. Aku membawanya pulang dengan penuh harapan.”
Sebuah Apel yang Mengguncang Rumah Tangga
Ketika sampai di rumah, Nureddin menyerahkan tiga apel itu kepada istrinya. Wanita itu sangat bersyukur, dan memakan satu dari buah tersebut. Sisa dua apel disimpannya di dalam kotak perak.
Beberapa hari kemudian, ketika Nureddin sedang duduk di pasar, ia melihat seorang budak hitam lewat sambil memegang sebuah apel.
Budak itu bermain-main dengan buah itu di tangannya dan berkata kepada temannya dengan sombong:
“Lihatlah buah ini! Ini bukan sembarang apel. Ini adalah milik istri Nureddin Hasan. Aku mencurinya darinya setelah bermalam dengannya.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar kepala Nureddin.
Darahnya mendidih. Ia merasa dikhianati. Ia tak berpikir panjang, hanya amarah yang menelan seluruh akalnya.
Ia pulang ke rumah dengan wajah gelap. Istrinya menyambutnya dengan senyum lembut, namun Nureddin langsung menatapnya tajam.
“Dari mana kau dapatkan apel itu?!” teriaknya.
“Dari tanganmu sendiri, suamiku,” jawab istrinya dengan bingung.
“Bohong! Aku melihatnya di tangan budak hitam di pasar. Ia berkata kau memberikannya kepadanya setelah berzina!”
Wajah istrinya memucat.
“Demi Allah, aku tak pernah keluar rumah sejak kau berangkat. Mungkin anak kita bermain dengan apel itu dan memberikannya pada seseorang.”
Tapi amarah telah menutup mata Nureddin. Ia menghunus pedang dan menebas istrinya tanpa berpikir panjang. Tubuh wanita itu rebah di lantai, darahnya membasahi karpet sutra.
Begitu amarahnya reda, ia memandang jasad istrinya dan menangis sejadi-jadinya.
“Ya Allah, apa yang telah kulakukan…”
Dalam ketakutan, ia memotong tubuh istrinya menjadi beberapa bagian, memasukkannya ke dalam peti, dan membuangnya ke Sungai Tigris di tengah malam.
Kebenaran Terungkap
Setelah beberapa hari, ia duduk di rumah dalam kesedihan mendalam. Putranya yang masih kecil datang dan berkata polos:
“Ayah, aku ingin apel yang seperti yang kau bawa dari perjalanan jauh. Aku memberikannya pada budak hitam di jalan karena ia memintanya dariku.”
Nureddin terperanjat. Ia menatap anaknya dengan ngeri.
“Kau… memberikannya pada budak itu?”
“Iya, Ayah. Aku tidak tahu itu akan membuat Ibu marah. Aku hanya ingin berbuat baik.”
Mendengar itu, Nureddin menjerit dan menampar wajahnya sendiri. Ia sadar bahwa istrinya benar-benar tak bersalah. Ia membunuh wanita yang paling mencintainya hanya karena ucapan dusta seorang budak.
Permohonan Ampunan
Air mata menetes di pipi Nureddin ketika ia melanjutkan kisahnya di hadapan khalifah.
“Wahai Amirul Mukminin, akulah orang paling malang di dunia. Aku membunuh istriku karena prasangka dan kebodohan. Aku siap menerima hukuman apa pun yang layak bagiku.”
Khalifah terdiam. Ia memandang Ja’far, lalu menatap Nureddin.
“Sungguh, kisahmu tragis. Tapi pembunuhan tetap pembunuhan. Nyawa harus dibayar dengan nyawa.”
Namun sebelum algojo mengangkat pedang, anak kecil tiba-tiba berlari masuk ke aula istana — anak Nureddin sendiri — sambil membawa satu apel di tangannya.
Khalifah menatap anak itu dan bertanya,
“Dari mana kau dapatkan apel ini, wahai anak kecil?”
Anak itu menjawab polos:
“Ayahku membawakan tiga apel dari negeri jauh. Ibu memakan satu, dan aku bermain dengan dua sisanya. Lalu seorang budak hitam lewat dan memintanya dariku. Aku memberinya satu apel.”
Wajah Nureddin memucat. Khalifah memandangnya dengan tatapan campur aduk antara kemarahan dan iba. Kini semua jelas: budak itu berbohong, dan prasangka telah menghancurkan sebuah keluarga.
Keadilan dan Hukuman
Khalifah segera memerintahkan pasukan untuk mencari budak hitam itu di seluruh Baghdad.
Tak lama kemudian, budak itu ditemukan di pasar dan dibawa ke hadapan khalifah.
“Apakah benar kau mengaku memiliki apel dari istri Nureddin Hasan?” tanya khalifah.
“Benar, Amirul Mukminin,” jawabnya ketakutan. “Tapi aku hanya bercanda dengan teman. Aku tidak tahu ada akibatnya sejauh ini!”
Khalifah murka.
“Canda yang menumpahkan darah seorang wanita suci tidak dapat dimaafkan!”
Budak itu dijatuhi hukuman mati di tempat. Namun setelah itu, Harun al-Rasyid memandang Nureddin yang berlutut menangis.
“Kau telah membunuh istrimu karena kebodohanmu sendiri. Tapi karena Allah telah menunjukkan kebenaran di hadapan kita, dan karena hatimu penuh penyesalan, maka aku mengampunimu — bukan demi dirimu, tetapi demi anakmu yang masih kecil.”
Nureddin mencium tanah, bersyukur dan menangis.
Ja’far dan Ujian Khalifah
Namun Harun al-Rasyid belum selesai. Ia menatap Ja’far dan berkata,
“Sekarang aku ingin kau mengambil pelajaran, wahai wazir. Keadilan tidak boleh terburu-buru seperti Nureddin, tapi juga tidak boleh lamban seperti yang kau lakukan. Jika engkau menemukan hal seperti ini lagi, selesaikan dengan kebijaksanaan sebelum darah menetes di tanah Baghdad.”
Ja’far menunduk dan berjanji akan berhati-hati. Dalam hati ia tahu, pengalaman ini akan selalu menghantui hidupnya — bahwa dalam setiap misteri, sering kali kebenaran tersembunyi di balik hal-hal kecil.
Akhir yang Pahit dan Penuh Hikmah
Setelah kejadian itu, Nureddin hidup menyendiri bersama anaknya. Ia sering duduk di tepi Sungai Tigris, menatap air yang dulu menjadi saksi dosanya.
Ia tidak menikah lagi, dan setiap kali melihat apel di pasar, ia menunduk dan berbisik:
“Tiga apel telah menghancurkan hidupku.”
Sementara itu, Khalifah Harun al-Rasyid sering merenungkan peristiwa ini dan berkata kepada Ja’far:
“Kisah ini harus diceritakan turun-temurun, agar manusia tahu bahwa kebohongan kecil dapat menimbulkan tragedi besar, dan bahwa keputusan yang diambil dalam amarah akan selalu membawa penyesalan.”