Di kota Baghdad pada masa kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid, hiduplah tiga saudari yang cantik dan cerdas, anak-anak dari seorang wazir yang sangat dihormati. Ayah mereka dikenal bijaksana dan kaya, dan kehidupan ketiga putrinya berjalan dalam kenyamanan dan kehormatan.
Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Ketika wazir itu wafat, semua harta dan kekuasaan yang dimilikinya berpindah tangan kepada pejabat lain yang iri padanya. Tiga saudari itu pun kehilangan tempat tinggal, kekayaan, dan perlindungan. Tak ada yang mau menolong mereka karena takut pada penguasa baru.
Mereka akhirnya menjual perhiasan satu per satu untuk bertahan hidup, sampai hanya tersisa sebuah rumah kecil di tepi sungai Tigris dan beberapa perabot sederhana. Di situlah kisah mereka dimulai.
Awal Kejatuhan dan Keputusan Besar
Suatu malam, ketika mereka makan dengan penerangan lampu minyak yang redup, sang kakak tertua berkata,
“Saudara-saudaraku, kita tidak bisa terus hidup begini. Kita adalah anak seorang wazir, tapi kini hidup seperti pengemis. Aku tidak tahan melihat kita menderita.”
Kedua adiknya menatapnya sedih. “Apa yang bisa kita lakukan, Kak?” tanya adik kedua.
Wanita tertua diam sejenak, lalu berkata,
“Kita harus memanfaatkan apa yang tersisa — kecantikan dan kecerdikan kita. Dunia ini keras, tapi tidak tertutup bagi mereka yang berani. Aku akan pergi ke pasar besok dan mencari cara agar kita bisa bertahan hidup.”
Keesokan harinya, wanita tertua berpakaian rapi, menutupi wajahnya dengan kerudung, dan pergi ke pasar. Di sana ia bertemu dengan seorang saudagar kaya yang datang dari luar negeri. Pria itu terpesona oleh kecantikannya dan menawarinya sejumlah uang sebagai hadiah. Tapi wanita itu menolak dengan sopan.
“Aku bukan perempuan sembarangan,” katanya. “Aku hanya ingin membeli bahan makanan untuk keluargaku.”
Melihat kehormatan dan tutur katanya, sang saudagar semakin tertarik. Ia memberi wanita itu sebuah kantung berisi seratus dinar emas, berkata, “Gunakanlah ini. Aku tidak mengharapkan apa pun kecuali doamu.”
Wanita itu bersyukur, lalu pulang ke rumah. Dengan uang itu, mereka hidup nyaman beberapa waktu. Tapi ia tahu, uang akan habis, dan nasib tidak bisa diandalkan selamanya.
Kedua Adik Menikah
Beberapa bulan kemudian, dua adik perempuan itu mulai merasa gelisah. Adik kedua berkata kepada kakaknya,
“Kita tidak bisa hanya bergantung pada keberuntungan. Aku ingin menikah agar punya pelindung.”
Kakak tertua terdiam, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi pilihlah dengan hati-hati.”
Tak lama, seorang pedagang kaya datang melamar adik kedua. Kakaknya memberi restu. Mereka menikah, dan pengantin baru itu pindah ke rumah suaminya di Basra.
Beberapa waktu setelah itu, adik bungsu juga berkata,
“Kak, aku pun ingin menikah seperti kakak kita. Aku ingin hidup dengan orang yang bisa menafkahiku.”
Wanita tertua, meski sedih, akhirnya mengizinkan. Seorang kapten kapal yang tampan datang melamar, dan mereka pun menikah. Adik bungsu ikut suaminya berlayar ke negeri jauh.
Kini, wanita tertua tinggal sendirian di rumah peninggalan ayah mereka. Ia sering termenung menatap malam, memikirkan nasibnya dan kedua adiknya. Dalam hatinya, ia berdoa agar mereka hidup bahagia.
Surat dari Laut
Beberapa bulan berlalu tanpa kabar. Lalu pada suatu sore, seorang pelayan datang membawa surat dari Basra. Surat itu dari adik kedua.
Isinya berkata:
“Kakakku tercinta, suamiku memperlakukanku dengan baik. Aku hidup tenang. Aku mohon datanglah berkunjung, karena aku rindu padamu.”
Wanita tertua pun menyiapkan perjalanan dan berangkat ke Basra. Ia tiba di rumah adiknya dan disambut dengan penuh kasih sayang. Mereka berpelukan dan saling bercerita tentang masa lalu.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pada malam ketiga, suami adik keduanya pulang dan melihat sang kakak masih di rumah. Ia tidak senang ada tamu tinggal lama.
“Wahai istriku,” katanya dengan kasar, “aku tidak suka orang lain menumpang di rumahku terlalu lama.”
Sang adik mencoba menjelaskan, “Ini kakakku sendiri, satu-satunya keluargaku.”
Namun suaminya tetap marah. Dengan nada dingin, ia berkata,
“Jika kau lebih memilih dia daripada aku, pergilah bersamanya. Aku tidak butuh istri yang lebih mencintai saudara daripada suaminya!”
Malam itu juga, adik kedua menangis dan berkemas. Ia memilih mengikuti kakaknya, karena tidak tahan dengan suaminya yang kejam. Mereka pun meninggalkan rumah itu dan kembali ke Baghdad.
Perjalanan Mencari Adik Bungsu
Setelah beberapa bulan tinggal bersama, wanita tertua berkata kepada adiknya,
“Bagaimana kalau kita mencari adik bungsu kita? Sudah lama kita tak mendengar kabarnya.”
Adiknya setuju. Mereka menjual sebagian perhiasan dan berangkat ke pelabuhan Basra, berharap bisa menemukan kapal suami adik bungsu.
Mereka menunggu berhari-hari, hingga akhirnya sebuah kapal besar datang dari India. Saat mereka bertanya kepada para pelaut, salah satu berkata,
“Kapten yang kalian cari telah wafat di laut karena badai. Tapi wanita yang bersamanya selamat. Kini ia menjadi penguasa di pulau tempat kapal mereka karam.”
Mendengar itu, keduanya terkejut. Namun, mereka juga lega karena adik bungsu masih hidup. Mereka pun menyewa kapal kecil dan berlayar ke pulau itu.
Pertemuan yang Mengejutkan
Ketika tiba di pulau itu, mereka melihat sebuah istana indah di tepi pantai. Mereka diterima oleh para pelayan wanita berpakaian sutra. Lalu muncullah seorang perempuan cantik berpakaian ratu — dan ternyata itu adalah adik bungsu mereka!
Ia berlari memeluk dua kakaknya sambil menangis. “Oh kakakku, betapa rindunya aku! Aku pikir aku tak akan pernah bertemu kalian lagi.”
Ia lalu bercerita bahwa setelah kapal mereka karam, ia diselamatkan oleh jin laut yang jatuh cinta padanya. Jin itu membuat istana indah di pulau ini dan menjadikannya ratu. Namun, jin itu sering pergi ke dunia lain dan melarang siapa pun masuk tanpa izinnya.
“Kakak, aku ingin kalian tinggal bersamaku di sini. Tapi janji, jika kalian melihat seorang lelaki tinggi dan berpakaian hitam datang, jangan bicara apa pun padanya,” kata sang adik.
Kedua kakak setuju. Mereka tinggal di istana itu selama beberapa hari, menikmati kemewahan yang belum pernah mereka rasakan lagi.
Rahasia yang Terbongkar
Suatu malam, ketika jin laut pergi, wanita tertua merasa penasaran. Ia berkata kepada adiknya yang kedua,
“Aku ingin tahu seperti apa rupa jin itu. Mari kita lihat kamar sang adik saat ia tertidur.”
Mereka pun masuk diam-diam. Di samping tempat tidur adik bungsu, mereka melihat sebuah peti kayu kecil yang terkunci rapat. Wanita tertua, karena rasa ingin tahu, membuka peti itu menggunakan jarum.
Di dalamnya, mereka menemukan patung pria tampan terbuat dari emas, lengkap dengan kalung mutiara di lehernya. Mereka saling pandang dengan heran.
“Mungkin ini yang disembunyikan adik kita,” bisik sang kakak tertua. “Apa hubungannya dengan jin laut itu?”
Namun tiba-tiba, adik bungsu mereka terbangun. Melihat kedua kakaknya membuka peti itu, wajahnya pucat ketakutan. Ia menjerit,
“Kalian celaka! Jin akan tahu apa yang kalian lakukan! Ia akan membunuh kita semua!”
Sebelum mereka sempat menutup peti itu kembali, angin kencang berhembus, langit menjadi gelap, dan suara menggelegar terdengar dari luar.
Kemarahan Jin
Pintu istana terbuka dengan keras. Masuklah jin besar berwarna hitam, matanya menyala seperti bara, rambutnya panjang berantakan. Ia berteriak marah:
“Siapa yang berani menyentuh barang milikku?!”
Adik bungsu berlutut ketakutan. “Ampun, Tuanku. Mereka kakak-kakakku. Mereka tidak tahu, aku mohon jangan hukum mereka.”
Namun jin tidak mau mendengar. Ia mengangkat tangannya, dan dengan sihirnya, ia mengubah kedua wanita itu menjadi dua anjing betina berwarna hitam.
“Jika kau menyayangi mereka,” katanya pada wanita bungsu, “beri mereka makan setiap malam. Tapi jika mereka berani melanggar laranganku lagi, aku akan membunuh kalian bertiga!”
Dengan itu, jin menghilang dalam kepulan asap, meninggalkan suara gemuruh di langit. Wanita bungsu menangis, memeluk kedua anjing itu, dan berkata,
“Maafkan aku, kakakku. Semua ini salahku.”
Sejak saat itu, setiap malam, ia memberi makan kedua anjing itu dengan tangannya sendiri, menangis setiap kali melakukannya.
Kembali ke Baghdad
Beberapa tahun kemudian, jin mulai jarang datang. Suatu hari, ia berkata,
“Aku harus pergi ke negeri jauh selama sepuluh tahun. Jangan tinggalkan pulau ini.”
Namun, setelah jin pergi, wanita bungsu memutuskan untuk melarikan diri bersama kedua kakaknya yang masih dalam wujud anjing. Ia membawa mereka naik kapal pedagang dan kembali ke Baghdad.
Mereka tiba di kota itu dengan selamat. Dengan sisa harta dari istana jin, mereka membeli kembali rumah lama ayah mereka. Di sanalah mereka tinggal hingga kisah ini bermula — malam ketika mereka bertemu dengan sang porter dan tiga orang dervish misterius.
Akhir Kisah Sang Wanita Tertua
Wanita tertua mengakhiri ceritanya di hadapan para tamu malam itu. Semua yang mendengar tertegun — terutama khalifah Harun Al-Rasyid, yang menyamar sebagai salah satu tamu.
Ia memandang kedua anjing betina yang berbaring di sisi wanita bungsu. “Apakah itu mereka?” tanya sang khalifah.
Wanita itu mengangguk. “Benar, Tuanku. Mereka adalah kakak-kakakku. Aku tak tega meninggalkan mereka. Setiap malam aku memberi mereka makan dengan tanganku sendiri.”
Khalifah kemudian memanggil permaisurinya, Zubaidah, yang dikenal bijak dan paham ilmu sihir. “Bisakah engkau membantu mereka?” tanya sang khalifah.
Zubaidah memeriksa kedua anjing itu, lalu membaca doa panjang. Dalam sekejap, kedua anjing itu kembali menjadi manusia, dua wanita cantik yang langsung memeluk adik mereka sambil menangis bahagia.
Khalifah berkata lembut,
“Kisah kalian penuh ujian dan kesabaran. Aku kagum dengan keteguhan hatimu. Mulai sekarang, kalian akan hidup di bawah perlindungan istana. Tidak ada lagi yang perlu kalian takutkan.”