Operasi Trisula 1968: Pembersihan PKI dan Jejak Luka di Blitar Selatan

Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang mengguncang ibu kota, sisa-sisa kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak serta-merta lenyap. Mereka mundur ke kantong-kantong yang sulit dijangkau, salah satunya Blitar Selatan, wilayah berbukit, penuh gua, dan miskin secara ekonomi. Di sinilah babak baru sejarah dimulai: Operasi Trisula.

Operasi militer ini diluncurkan oleh TNI pada 1968 untuk “menggulung” sisa-sisa kekuatan PKI. Namun, di balik misi militer tersebut, tersimpan kisah kompleks tentang trauma, propaganda, dan pelanggaran hak asasi manusia yang bertahan hingga kini.

Tujuan Operasi Trisula

Secara resmi, Operasi Trisula bertujuan memberantas sisa-sisa PKI yang mencoba bangkit setelah G30S. Targetnya mencakup Blitar Selatan, Malang Selatan, dan Tulungagung. Namun, lebih dari sekadar penumpasan fisik, operasi ini juga mencakup indoktrinasi ideologis, dengan “pembinaan” terhadap para tahanan yang bertujuan menghapus pengaruh komunisme dari masyarakat.

Peta Operasi dan Kekuatan yang Dikerahkan

Dipimpin oleh Panglima Kodam VIII/Brawijaya, Mayjen M. Yasin, Satgas Trisula dibentuk pada Mei 1968. Operasi ini melibatkan lebih dari 5.000 tentara dari berbagai batalyon, ditambah dukungan 10.000 lebih anggota Banser NU, Hansip, serta masyarakat sipil.

Strateginya mencakup pengepungan ketat dan penggeledahan wilayah Blitar Selatan. Taktik yang digunakan dikenal sebagai “Taktik Ublek Telur” — sebuah strategi menyisir habis-habisan seluruh wilayah tanpa pandang bulu, mirip mengocok telur agar semuanya tercampur.

Selain kekuatan darat, kekuatan udara juga dilibatkan. Pesawat tempur, pengangkut, hingga helikopter diterjunkan untuk mendukung serangan darat. Pendekatan ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah menghadapi ancaman ini.

Target dan Sasaran Operasi

Tokoh-tokoh seperti Oloan Hutapea, Munir, Rewang, dan Ruslan Widjajasastra menjadi incaran utama. Mereka diyakini bersembunyi di dalam gua-gua atau desa-desa terpencil. Namun, operasi ini tidak hanya menyasar mereka, tetapi juga penduduk sipil yang dicurigai sebagai simpatisan.

Akibatnya, banyak warga sipil yang turut ditahan, dipindahkan, bahkan dieksekusi tanpa proses hukum. Para pria dipaksa berpatroli dan mencabut tanaman pangan, sedangkan sebagian wanita mengalami kekerasan seksual.

Kronologi dan Jalannya Operasi

Operasi dimulai pada 1 Juni 1968 dan berakhir secara resmi pada 7 September 1968. Dalam tiga bulan tersebut, aparat melakukan pengepungan dan penyisiran intensif. Para tokoh kunci PKI satu per satu ditangkap atau tewas, seperti Oloan Hutapea yang dilaporkan tewas dilempari batu, dan Soerachman yang ditembak.

Sementara film dokumenter “Operasi Trisula” yang diproduksi oleh PFN menggambarkannya sebagai kemenangan heroik, kenyataan di lapangan penuh tragedi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Dampak Kemanusiaan dan Pelanggaran HAM

Data korban sangat bervariasi. Sumber resmi menyebut 66 anggota PKI tewas dan 850 ditangkap. Namun, penelitian independen menyatakan sekitar 2.000 orang tewas dan ribuan lainnya ditahan, banyak di antaranya warga biasa.

Pelanggaran HAM yang tercatat termasuk:

  • Pembunuhan tanpa proses hukum
  • Penyiksaan
  • Pemerkosaan dan pelecehan seksual
  • Pengusiran paksa dan relokasi
  • Penahanan tanpa pengadilan

Bahkan anak cucu korban terus mengalami stigma dan pengawasan negara bertahun-tahun setelah operasi selesai.

Narasi Sejarah: Resmi vs. Alternatif

Monumen Trisula di Blitar dan film dokumenter produksi negara menggambarkan operasi ini sebagai kerjasama harmonis antara TNI dan rakyat. Namun, narasi alternatif dari akademisi dan lembaga HAM membongkar sisi gelap: bahwa sebagian besar korban bukanlah anggota PKI, melainkan masyarakat biasa yang disapu dalam operasi “tanpa ampun”.

Narasi resmi berfungsi sebagai alat propaganda rezim Orde Baru, memperkuat ideologi anti-komunis dan membenarkan kekerasan negara. Sebaliknya, narasi alternatif menuntut pengakuan, keadilan, dan rekonsiliasi.

Pelajaran dari Operasi Trisula

  1. Sejarah Tidak Tunggal: Penting untuk mengkaji berbagai sumber dan perspektif agar sejarah tidak hanya ditulis oleh pemenang.
  2. Bahaya Label Ideologis: Menyamakan seluruh warga suatu wilayah sebagai musuh dapat berujung pada genosida.
  3. Pentingnya Rekonsiliasi: Upaya seperti yang dilakukan di era Gus Dur menjadi contoh bahwa bangsa harus belajar berdamai dengan masa lalu.
  4. Pembangunan yang Adil: Akar dari konflik seperti ini seringkali adalah ketidakadilan ekonomi dan sosial. Menyelesaikan masalah butuh lebih dari sekadar senjata.
  5. Kekuatan Narasi Negara: Film dan monumen bukan hanya tentang sejarah, tetapi alat politik yang membentuk memori kolektif.

Penutup

Operasi Trisula adalah cermin dari masa ketika kekuatan militer digunakan untuk menyelesaikan masalah ideologi dan politik. Ia menyisakan pelajaran berharga tentang bahaya kekuasaan tanpa batas dan pentingnya menegakkan hak asasi manusia dalam segala keadaan.

Kisah ini bukan hanya soal komunis dan tentara, tetapi tentang bagaimana negara memperlakukan rakyatnya dalam masa penuh ketakutan. Kini, saat demokrasi memberi ruang bagi suara-suara yang dulu dibungkam, sejarah Operasi Trisula menunggu untuk dibaca ulang dengan jujur, empatik, dan berimbang.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *