Jaksa saat ini sedang menyelidiki dugaan korupsi terkait denda yang diberikan kepada perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Kasus ini menarik perhatian karena ada perbedaan dalam aturan penentuan denda yang menyebabkan nilainya turun drastis.
Perubahan Nilai Denda
Awalnya, perhitungan denda mengacu pada Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 661 Tahun 2023. SK ini memasukkan nilai ekonomi hutan dalam rumus denda, sehingga jumlahnya cukup besar. Namun, SK baru, yaitu Nomor 815 Tahun 2023, hanya menghitung provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi. Akibatnya, nilai denda turun signifikan.
Berdasarkan data yang ada, sekitar 2.000 perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan seharusnya membayar denda hingga Rp 300 triliun. Namun, dengan perubahan aturan, potensi pemasukan negara dari denda ini menjadi jauh lebih kecil.
Penyidikan oleh Jaksa
Menanggapi dugaan korupsi ini, jaksa telah menggeledah kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beberapa dokumen penting serta telepon seluler pejabat kementerian disita sebagai barang bukti. Kini, pihak kejaksaan menunggu hasil penghitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.
Asas Ultimum Remedium dalam UU Cipta Kerja
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, penyelesaian kasus penyerobotan hutan oleh perusahaan sawit lebih diutamakan melalui sanksi administratif berupa denda, dibandingkan hukuman pidana. Prinsip ini disebut ultimum remedium, yang berarti sanksi pidana hanya dijatuhkan jika sanksi administratif dianggap tidak cukup efektif.
Namun, kebijakan ini justru dikritik karena dianggap memberi keleluasaan kepada perusahaan-perusahaan besar untuk menebang hutan tanpa izin, cukup dengan membayar denda. Banyak pihak menilai hal ini sebagai bentuk impunitas atau pemutihan atas pelanggaran lingkungan.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025
Tidak hanya perusahaan sawit, kini usaha pertambangan di dalam kawasan hutan juga mendapat perlakuan serupa. Melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto memasukkan pertambangan sebagai sektor yang dapat dikenakan denda administratif daripada sanksi pidana. Keputusan ini menambah kekhawatiran bahwa semakin banyak perusahaan yang bisa lolos dari tanggung jawab hukum meskipun merusak lingkungan.
Kekhawatiran Publik
Kebijakan ini mendapat kritik tajam dari para aktivis lingkungan. Mereka khawatir bahwa denda yang terlalu rendah tidak akan memberikan efek jera bagi perusahaan-perusahaan besar. Jika tidak ada langkah tegas dari pemerintah dan penegak hukum, impunitas terhadap perusahaan yang merusak lingkungan bisa semakin parah.
Sementara itu, penyelidikan terhadap dugaan korupsi ini terus berlanjut. Jika terbukti ada permainan dalam penetapan denda, maka pihak-pihak yang terlibat bisa dikenakan sanksi hukum. Publik pun menunggu apakah kasus ini akan membawa perubahan signifikan dalam perlindungan hutan di Indonesia.
Sumber: Tempo