Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa kecil di tepi laut, hiduplah seorang nelayan miskin bersama istrinya. Mereka tinggal di dalam gubuk reyot yang berdinding anyaman bambu dan beratap jerami. Setiap pagi, si nelayan pergi ke laut membawa jala tuanya yang mulai usang, berharap bisa menangkap cukup ikan untuk dimakan hari itu. Sementara itu, istrinya tinggal di rumah, menambal pakaian, menjerang air, atau sekadar menatap laut dari jendela, bermimpi suatu hari mereka bisa hidup lebih baik.
Meski hidup mereka sederhana, istrinya sering mengeluh. Ia tidak pernah benar-benar puas. Kadang ia berkata,
“Ah, hidup seperti ini sungguh menyedihkan. Andai saja kita punya rumah yang layak, tidak perlu lagi tinggal di gubuk kotor ini.”
Si nelayan hanya menghela napas. Ia tidak suka mendengar keluhan, tapi ia juga tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Ia hanya bisa bekerja dan berharap laut memberinya keberuntungan suatu hari nanti.
Munculnya Ikan Ajaib
Suatu pagi yang cerah, nelayan itu pergi melaut seperti biasa. Ombak tenang, dan angin bertiup lembut. Ia menebar jala ke laut dan menunggu. Lama sekali tak ada ikan yang masuk ke jalanya. Namun, ketika ia menarik jala untuk ke sekian kalinya, ia merasa sesuatu yang berat tersangkut. Ia berpikir mungkin seekor ikan besar. Dengan penuh tenaga ia menarik jala itu ke atas.
Betapa terkejutnya ia, ternyata yang tertangkap adalah seekor ikan besar berwarna emas yang bisa berbicara!
Ikan itu berkata dengan suara lembut,
“Tolong lepaskan aku, wahai nelayan baik. Aku bukan ikan biasa. Aku adalah ikan ajaib yang dikutuk menjadi ikan. Jika kau melepaskanku, aku akan mengabulkan apa pun permintaanmu.”
Si nelayan terdiam. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tapi ikan itu tampak begitu memohon, dan nelayan itu berhati baik. Ia pun berkata,
“Baiklah, aku akan melepaskanmu. Aku tidak ingin apa pun darimu. Pergilah dan berenanglah bebas.”
Ikan emas itu menatapnya sejenak, lalu berenang menjauh sambil meninggalkan kilau cahaya keemasan di air. Nelayan itu tersenyum. Ia merasa bahagia bisa menolong makhluk yang ajaib itu, lalu ia pulang ke gubuknya.
Permintaan Pertama: Rumah yang Layak
Sesampainya di rumah, istrinya langsung bertanya,
“Apa kau mendapat ikan hari ini?”
Nelayan itu menjawab dengan jujur, “Tidak, aku hanya menangkap seekor ikan emas yang bisa bicara. Ia memohon agar aku melepaskannya, dan aku pun melakukannya.”
Mendengar itu, istrinya terkejut.
“Apa? Kau melepaskannya begitu saja? Dasar bodoh! Kalau dia ikan ajaib, seharusnya kau minta sesuatu darinya! Kita hidup miskin begini, sementara kau menyia-nyiakan kesempatan emas!”
Nelayan itu tertunduk. Ia tidak menyangka istrinya akan marah seperti itu.
“Tapi aku tidak tahu harus minta apa…” katanya pelan.
Istrinya langsung memotong,
“Kau tahu apa yang harus diminta! Minta saja rumah yang layak! Aku bosan hidup di gubuk kotor ini!”
Nelayan itu menghela napas panjang. Walaupun hatinya enggan, ia akhirnya menuruti istrinya. Ia berjalan menuju tepi laut. Angin mulai bertiup lebih kencang, dan air laut tampak agak keruh. Ia berdiri di pasir basah dan memanggil,
“Ikan ajaib, ikan ajaib di laut biru,
tolong datang dan dengarkan pintaku.
Istriku tak puas dengan hidupnya kini,
ia ingin rumah yang layak dan berseri.”
Tak lama, permukaan laut bergelombang, dan ikan emas muncul dari dalam air.
“Apa yang kau inginkan kali ini, nelayan baik?” tanya ikan itu.
“Istriku ingin rumah yang lebih layak,” jawab nelayan.
Ikan itu mengangguk.
“Pulanglah. Keinginanmu telah dikabulkan.”
Nelayan itu pun kembali ke rumah. Dan alangkah terkejutnya ia! Gubuk reyot mereka telah berubah menjadi rumah kecil yang kokoh dan indah dengan jendela kaca, dapur, dan taman kecil di depan rumah.
Istrinya tampak sangat gembira. Ia memeluk suaminya sambil berseru,
“Lihat! Sekarang kita tidak perlu tinggal di gubuk kumuh lagi!”
Nelayan itu tersenyum. Ia berharap istrinya kini akan bahagia.
Permintaan Kedua: Istana yang Megah
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, istrinya mulai bosan lagi. Ia duduk di teras rumah barunya dan berkata,
“Rumah ini memang bagus, tapi terlalu kecil. Kalau tamu datang, di mana mereka akan duduk? Aku ingin rumah yang lebih besar, mungkin seperti istana!”
Nelayan itu terkejut.
“Tapi kita sudah punya rumah yang bagus. Bukankah itu cukup?”
Namun istrinya tetap bersikeras. Ia berteriak,
“Pergilah ke laut! Katakan pada ikan itu, aku ingin istana yang megah!”
Nelayan itu merasa tak enak hati, tapi akhirnya ia pergi juga. Kali ini laut tampak lebih gelap, ombaknya lebih besar. Ia berdiri di tepi air dan memanggil,
“Ikan ajaib, ikan ajaib di laut biru,
tolong datang dan dengarkan pintaku.
Istriku tak puas dengan rumah kini,
ia ingin istana besar dan tinggi.”
Air laut bergejolak. Ikan emas muncul dengan wajah murung.
“Istrimu ingin terlalu banyak,” katanya lembut.
Namun tetap saja ia berkata,
“Baiklah, pulanglah. Ia kini punya istana.”
Ketika nelayan itu kembali ke darat, rumah mereka telah berubah menjadi istana megah dengan menara tinggi, halaman luas, dan pelayan yang sibuk ke sana kemari. Istrinya kini berpakaian seperti bangsawan. Ia duduk di kursi besar dari emas dan permata.
“Nah, sekarang ini baru kehidupan yang pantas!” katanya sombong.
Nelayan itu tersenyum, tapi di dalam hatinya ia mulai cemas. Istrinya tampak terlalu berambisi.
Permintaan Ketiga: Jadi Ratu
Beberapa hari kemudian, sang istri kembali merasa kurang puas. Ia berdiri di balkon istananya, menatap laut, lalu berkata,
“Menjadi nyonya istana ternyata tidak cukup. Aku ingin menjadi ratu agar semua orang tunduk padaku.”
Nelayan itu terkejut mendengarnya.
“Istriku, permintaanmu sudah terlalu banyak! Kita tidak bisa terus memaksa ikan itu.”
Namun istrinya membentak,
“Diam! Pergi ke laut sekarang juga! Katakan aku ingin menjadi ratu!”
Dengan berat hati, nelayan itu berjalan lagi ke pantai. Langit tampak kelabu, dan angin berembus kencang. Ombak besar menghantam karang. Ia memanggil dengan suara bergetar,
“Ikan ajaib, ikan ajaib di laut biru,
tolong datang dan dengarkan pintaku.
Istriku tak puas dengan istananya kini,
ia ingin menjadi ratu sejati.”
Laut bergejolak sangat kuat kali ini. Ikan emas muncul dengan wajah muram.
“Pulanglah,” katanya pendek. “Ia sudah menjadi ratu.”
Nelayan itu kembali dengan langkah berat. Dan benar saja, kini istana mereka telah berubah menjadi kerajaan besar. Sang istri duduk di atas takhta emas, mengenakan mahkota, dikelilingi pengawal dan pelayan.
“Lihat!” katanya angkuh. “Aku sekarang ratu! Semua orang harus tunduk padaku!”
Nelayan itu hanya menunduk, berharap semua ini tidak membawa malapetaka.
Permintaan Keempat: Jadi Kaisar
Namun keserakahan manusia tak ada batasnya. Beberapa hari kemudian, sang ratu berkata,
“Menjadi ratu ternyata belum cukup. Aku ingin menjadi kaisar, penguasa atas semua ratu dan raja!”
Nelayan itu menatapnya dengan sedih.
“Istriku, tolong hentikan. Ikan ajaib itu pasti sudah lelah. Kita sudah diberi lebih dari cukup.”
Namun sang istri tak mau mendengarkan. Ia menjerit,
“Kau hanya pengecut! Pergi sekarang dan mintalah agar aku menjadi kaisar!”
Nelayan itu kembali ke laut dengan hati yang sangat gelisah. Langit kini gelap gulita, guntur menyambar, dan laut bergemuruh hebat. Ia memanggil dengan suara bergetar,
“Ikan ajaib, ikan ajaib di laut biru,
tolong datang dan dengarkan pintaku.
Istriku tak puas jadi ratu kini,
ia ingin jadi kaisar tertinggi.”
Ikan emas muncul dari pusaran air yang besar.
“Istrimu terlalu serakah,” katanya tegas. “Namun, pulanglah. Ia kini menjadi kaisar.”
Ketika nelayan itu tiba di rumah, ia melihat istana raksasa menjulang tinggi ke langit, dindingnya dari emas, dan menara-menara menjulang. Istrinya kini duduk di singgasana besar bertatahkan permata, dengan ribuan prajurit bersujud di depannya.
Namun meski begitu megah, wajah sang istri tetap tak bahagia. Ia mulai berpikir lagi, “Aku sudah kaisar… tapi masih ada yang lebih tinggi.”
Permintaan Kelima: Jadi Penguasa Matahari dan Bulan
Keesokan harinya, sang istri memandang langit. Ia menatap matahari dan bulan, lalu berkata,
“Aku ingin menjadi penguasa langit dan bumi, agar matahari dan bulan pun tunduk padaku!”
Nelayan itu ketakutan. Ia memohon,
“Istriku, jangan! Itu terlalu berlebihan! Tidak seorang pun bisa menguasai matahari dan bulan selain Tuhan sendiri!”
Namun sang istri marah besar.
“Kau berani menentangku? Pergi sekarang, atau aku akan memerintahkan pasukanku menghukummu!”
Dengan hati hancur, nelayan itu kembali ke pantai. Kali ini laut benar-benar mengerikan. Ombaknya setinggi rumah, langit hitam pekat, dan angin menderu kencang. Ia hampir tak bisa berdiri. Namun ia tetap memanggil,
“Ikan ajaib, ikan ajaib di laut biru,
tolong datang dan dengarkan pintaku.
Istriku ingin berkuasa tanpa henti,
menjadi penguasa matahari dan bulan di bumi.”
Laut mendidih, kilat menyambar, dan suara petir mengguncang bumi. Ikan emas muncul sekali lagi, tapi kini wajahnya muram dan sedih.
“Pulanglah, nelayan. Ia sudah mendapatkan apa yang pantas.”
Nelayan itu kebingungan, tapi ia kembali pulang. Saat sampai di rumah, betapa terkejutnya ia! Semua istana, permata, dan kemewahan lenyap tanpa jejak. Di tempat itu kini hanya berdiri gubuk reyot mereka yang lama. Istrinya duduk di depan pintu, mengenakan pakaian lusuh, menatap laut dengan wajah kosong.
Nelayan itu mendekat perlahan.
“Istriku…” katanya lembut.
Istrinya hanya menunduk dan berkata lirih,
“Aku bodoh… Aku tamak…”
Nelayan itu tersenyum, lalu menggenggam tangan istrinya.
“Tak apa. Kita masih punya satu sama lain.”
Dan sejak hari itu, mereka hidup sederhana kembali, tapi kini sang istri tidak lagi mengeluh. Ia belajar bahwa keserakahan hanya membawa kehilangan, dan bahwa kebahagiaan sejati bukan datang dari kekayaan, melainkan dari hati yang puas dan bersyukur.
